Lihat ke Halaman Asli

Melatih Anak Berpikir Mandiri

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

080909taiken36.jpg

Siswa SD sedang melakukan penelitian di seupermarket

Sekolah di Jepang sekarang begitu menyenangkan sehingga orang tua sempat mengkhawatirkan kalau sekolah menjadi terlalu santai. “Tidakkah seharusnya mereka berlatih matematika atau belajar sesuatu yang serius?” tanya seorang ibu saat membicarakan kegiatan anaknya mencelup kain kimono dan studi-banding ke tempat pembuatan permen tradisional Jepang. Banyak orang tua yang tidak mengerti apa yang dimaksud sogo teki na gakushu no jikan (integrated learning time) atau pembelajaran terpadu. Disingkat menjadi sogo gakushu. Memang ini merupakan subyek yang relatif baru di sekolah-sekolah Jepang. Mari sedikit kita simak latar belakangnya. Sekitar satu dekade yang lalu, banyak dosen universitas mengeluh bahwa mahasiswa baru tidak mampu berpikir kreatif atau memecahkan masalah. “Banyak anak muda yang sudah hafal buku pelajaran tetapi mereka tidak tahu bagaimana menerapkan pengetahuan mereka,” kata para profesor. Ini persis seperti apa yang terjadi di Indonesia sekarang. Dinas Pendidikan Jepang direkomendasikan untuk memberikan lebih banyak kesempatan untuk belajar mandiri bagi siswa. Maka sejak tahun 2002 semua SD, dan SMP diwajibkan pembelajaran mandiri (dan dimulai tahun 2003 untuk tingkat SMA). Tujuan pembelajaran terpadu ini adalah untuk “memupuk kemampuan anak-anak untuk memecahkan masalah dengan mendorong mereka untuk menentukan masalah mereka sendiri, mempelajarinya, berpikir dan membuat penilaian secara mandiri.”(lihat artikel saya sebelumnya di link ini atau ini). Diharapkan siswa dapat terasah kemampuannya untuk dapat belajar dan berpikir secara mandiri. Sebagaimana tujuan pendidikan seharusnya menyiapkan anak untuk menghadapi kehidupannya, maka pembelajaran terpadu ini adalah untuk melatih kemampuan yang dibutuhkan untuk itu. Hmm, kedengarannya hebat. Tapi bagaimana menerapkannya di kelas? Di banyak sekolah sogo gakushu diperkenalkan pada tahun 2000. Anak-anaklah, bukan guru, yang dilatih untuk mengambil keputusan tentang apa yang telah mereka pelajari. Ketika anak-anak menunjukkan minat pada seni tradisional dalam buku pelajaran ilmu sosial, misalnya, guru bertanya apakah mereka ingin menjelajahi topik selanjutnya. Bila siswa sepakat, mereka akan mendalami topik pilihannya.

Wagashi Taiken

Beberapa guru membawa siswa ke Pusat Kerajinan Tradisional Jepang. Mereka bertemu relawan yang mengantarkan ke tempat pencelupan kimono. Siswa juga mendatangi toko makanan terkenal dan ikut mencoba menirukan wagashi taiken (membuat permen tradisional dengan tangan). Setiap anak disuruh memilih topik yang menarik, lalu mereka melakukan riset masing-masing dan menyiapkan presentasi tentang apa yang mereka pelajari. Siswa yang cukup antusias akan berusaha melakukan penelitian bahkan melalui internet, pergi sendiri ke perpustakaan untuk melakukan riset, memanfaatkan tamasya keluarganya dengan mewawancarai orang-orang yang dia temui, pokoknya segala cara yang bila itu di Indonesia mungkin hanya dilakukan oleh mahasiswa. Pembelajaran terpadu di Jepang ini dimulai sejak kelas tiga SD. Berbagai institusi seperti museum, organisasi nirlaba dan bahkan pebisnis komersial seringkali menawarkan program sogo gakushu kepada sekolah. Mereka menawarkan variasi materi yang akan diberikan pada siswa, mulai dari sejarah sepeda, produksi kebutuhan sehari-hari, yang kadang-kadang dikenakan tarif tertentu. Kurikulum yang Bagus, tapi Apakah Anak akan Lebih Siap Menghadapi Ujian Masuk? Meski pembelajaran ini telah umum di Amerika, banyak orang tua di jepang yang keberatan dengan model baru seperti ini. Mungkin karena hal ini belum lazim di Jepang. Ada yang mengeluhkan bahwa jatah waktu untuk pembelajaran terpadu ini terlalu banyak, dan mengasumsikan bahwa ini hanya dijadikan sebagai pelarian dari akibat pemotongan hari efektif sekolah. (Di Jepang, sejak tahun 1995 diberlakukan 5 hari sekolah, sejak Senin hingga Jum’at, Sabtu dan Minggu libur). Yang lain mencemaskannya penurunan nilai kemampuan akademis sehingga menuntut penambahan jam pada pelajaran matematika dan sains. Alasan para orang tua tersebut masuk akal, mengingat meski kurikulum berubah, namun ujian masuk tidak mengalami perubahan. Padahal ujian masuk menekankan lebih banyak pada materi akademis seperti matematika dan sains. Seharusnya bukannya menarik mundur kurikulum pembelajaran terpadu, melainkan materi ujian masuk juga disesuaikan dengan perubahan kurikulum, sebab bila tidak, maka orang tua harus menyiapkan anak-anak secara khusus ke juku (tempat kursus). Dan ini tentu saja tidak murah. Pendidikan itu Menyiapkan Anak Menghadapi Masa Depan bukan Ujian (UNAS) Sebagai garis bawah, sebuah pelajaran bagi Indonesia, marilah kita berikan anak didik kita dengan keterampilan yang sering dibutuhkan oleh kita, orang dewasa, di dalam kehidupan sehari-hari. Kita banyak menemui masalah tetapi kesulitan merumuskannya apatah lagi hendak memberikan jalan keluarnya. Kiranya tidaklah perlu pelajaran-pelajaran trivia seperti sejarah kerajaan (apalagi teori evolusi yang sudah ditinggalkan), PKn, memfokuskan bahasa Daerah hanya pada percakapannya (bukan tulisan Jawa hanacaraka yang sudah mati), mengatur prioritas mengenal struktur tubuh manusia daripada hewan pada pelajaran (dulu) Biologi, dan lain-lain. Kalau anda sudah tidak memakainya, kenapa harus diajarkan kepada generasi muda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline