Bismillaahirrohmaanirrohiim Menjejakkan kaki di luar negeri pastilah membuahkan kekagetan. Antara apa yang diangankan dan apa yang dilihat dengan mata kepala sendiri, ada kekaguman dan mungkin ada kekecewaan. Sebagaimana saat saya diterbangkan ke Jepang – maklum, bukan biaya pribadi. Kobe, adalah kota dimana saya tinggal selama beberapa bulan. Sebagai kota yang berperingkat terbesar ke-6, Kobe memiliki kepadatan sebesar 1,5 juta jiwa. Daerah terpadatnya terletak di Sannomiya. Di sini kekaguman saya berawal.
Trotoar
Berjalan-jalan di tengah kerumunan gedung bertingkat tidak pernah senyaman di sini, bahkan tidak di kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya yang saya kenal. Pejalan kaki sangat dimanjakan di sini. Tidak ada polusi! Tidak pernah sekalipun saya menemui kendaraan yang mengeluarkan asap berlebihan apalagi hitam yang membuat pejalan kaki menutupi hidungnya. Bahkan saya curiga kalau mereka menjual mobil yang sudah berusia lanjut karena konon harga mobil murah sekali. Teman saya Khalid dari Oman menjual mobilnya dengan harga 5 mang (Rp 5.000.000) dan Ahmad dari Uzbek membeli mobilnya yang bekas seharga serupa. Tapi mengurus SIM bisa lebih mahal dari itu. Berombongan di trotoar pun tidak masalah karena begitu lapangnya, sehingga di daerah tertentu di pusat kota lebar trotoar lebih luas dibandingkan jalan rayanya. Ini memang disengaja untuk menampung volume pejalan kaki yang fenomenal di Jepang, di samping pengguna sepeda pancal yang juga memanfaatkan lajur trotoar. Sehingga trotoar didesain selandai mungkin, tidak naik turun, tidak melelahkan. Berbeda dengan Indonesia yang semua kendaraan tumpek blek (tumpah ruah) di jalan.
Di setiap titik tertentu terdapat taman atau zona hijau yang sangat membuat siapapun merasa ingin meluangkan waktu beristirahat di sana. Di sini, jangan berpikir untuk merokok, karena selain di tempat-tempat yang telah disediakan, merokok sangatlah mengganggu dan memalukan bila melanggarnya. Pojok untuk merokok biasanya disediakan di tempat yang paling sepi dari pejalan kaki. Dan bila anda menemukannya, lucu rasanya melihat orang yang merokok; mereka persis anak sekolah yang disetrap guru karena nakal.
Ramp, Lift, dan Overpass
Ramp adalah bagian landai yang menghubungkan lantai yang lebih rendah ke yang lebih tinggi atau sebaliknya. Mungkin sudah menjadi standar bangunan di Jepang bahwa di setiap tempat selalu disediakan ramp disamping tangga. Ini sangat memudahkan mereka yang menggunakan kursi roda, membawa baby-car, atau koper besar. Namun seringkali tangga di sebuah mall atau Eki (stasiun KA) sangat tinggi sehingga disediakan pula elevator yang tidak mungkin disediakan ramp, maka disediakanlah lift. Fasilitas ini sepertinya standar untuk bangunan yang bertingkat 3 atau lebih alias fardhu ‘ain. Di Kota besar seperti Kobe ini kesibukan mungkin tidak begitu terlihat padat karena lalu lintas pejalan kaki terbagi oleh ruangnya. Terdapat beberapa lapis bagian kota; di permukaan, di bawah tanah, dan di overpass. Pedestrian Overpass adalah jembatan yang menghubungkan dari satu titik ke titik lain, di Jepang titik tersebut bisa berupa satu gedung ke gedung yang lain. Saya biasa ke kantor kecamatan dengan melewati beberapa gedung tanpa turun dari jembatan.
Tempat Sampah
Satu hal yang tidak sebaik Indonesia adalah jarangnya disediakan tempat sampah umum. Yang ada adalah tempat sampah pribadi atau komunitas, yakni bila terletak di bagian luar sebuah apartemen maka itu adalah khusus bagi penghuninya. Satu-dua tempat sampah khusus kaleng biasanya disediakan di dekat jidohanbaiki (vending machine/mesin penjual otomatis). Sedangkan yang lengkap untuk semua jenis sampah biasanya ada di Eki. Jadi kalau memiliki sampah, harus dikantongi dulu sampai ke Eki atau bahkan bila terlupa sampai ke rumah. Yang menggiurkan dari tempat sampah di Jepang adalah, anda bisa nemu TV…! www.sekolahku.info
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H