Tulisan ini sebagai kelanjutan penjelasan dari jawaban singkat pada artikel "Kegaduhan" Pembentukan Badan Siber Nasional (Basibnas bukan Basinas)
Dunia maya (wilayah siber) adalah dunia yang pararel dengan dunia nyata (fisik), keduanya saling terkait dan saling berdampak langsung. Jika Indonesia mempunyai batas wilayah fisik dan berdaulat (bisa menegakan hukum NKRI), maka seharusnya Indonesia juga memiliki wilayah maya (juga harus bisa menegakan hukum NKRI). Jika wilayah fisik berisi penduduk, maka wilayah maya berisi informasi.
Dengan kondisi saat ini dimana nyaris tidak ada informasi yang tidak diproses di dunia maya, maka penduduk dunia nyata tidak lebih dari sekedar informasi. Ini merupakan pendapat saya pribadi sebagai praktisi dan profesional, silahkan diuji dalam konteks dunia nyata dan dunia maya, diluar konteks urusan kepercayaan kepada Tuhan YME. Seandainya ada pihak yang bisa mengganti nama dan seluruh catatan tentang Gildas Arvin Deograt, maka saya tidak diakui lagi dimanapun, sudah "tidak ada" lagi di dunia fisik, hanya ada dalam memory (ingatan) teman dan keluarga. Kasus status kematian Donald E. Miller Jr. menjadi contoh nyata bahwa status "hidup" atau "mati" ditentukan oleh rekaman informasi yang ada.
Silahkan baca: Declared Legally Dead, as He Sat Before the Judge
Jika hingga tahun1945, leluhur kita bangsa Indonesia, pahlawan pejuang kemerdekaan NKRI berhasil memerdekakan wilayah fisik Indonesia, maka bagi saya, pembentukan Basibnas adalah langkah awal kemerdekaan NKRI di dunia maya. Langkah awal yang (semoga) terwujud setelah 20 tahun berjuang mempertaruhkan "hidup" di bidang keamanan siber dan informasi.
Bayangkan wilayah siber NKRI seperti Puzzle Peta Indonesia, dimana 80% potonngan puzzle-nya sudah lengkap, namun belum ada kerangka pemersatunya, posisi Aceh ada diatas Kalimantan, Bali ada disebelah Merauke, ada puzzle-puzzle yang tumpang tindih, ada potongan gambar yang pudar tidak jelas Jawa Barat atau Sulawesi Utara. Sehingga saya dan teman-teman di "Desk Siber" Kemenko Polhukam membahas ide bahwa Indonesia membutuhkan suatu organisasi skala nasional yang juga bisa berperan di tingkat internasional. Kami berharap bahwa fungsi organisasi ini 80% sebagai koordinator, termasuk menjadi edukator dan motivator, serta 20% sebagai eksekutor, termasuk menjadi integrator dan implementor. Organisasi yang dapat mengisi kekosongan, mengurus wilayah abu-abu dimana kementerian atau lembaga negara yang ada tidak mau bertanggung-jawab, dan juga mengurus beberapa bagian wilayah siber yang selama ini terlantar. Organisasi yang kemudian diberi nama Badan Siber Nasional (Basibnas).
Catatan: Saya beri singkatan Basibnas. Jangan Basinas donk, masa belum apa-apa sudah basi. Apalagi, tiba-tiba muncul secara "eksklusif" (diam-diam) rancangan Perpres lain berjudul Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN).
Mengenai apa isi rancangan Perpres Basibnas (dan atau BSSN), saya tidak bisa mengungkapkannya sekarang karena masih bersifat rahasia. Lagipula, saya hanya tahu versi yang dibuat “Desk Siber” yaitu Basibnas (inipun ada beberapa versi selama 2 tahun terakhir). Sayapun tidak tahu pasti versi Basibnas mana yang dibaca oleh Pak Jokowi. Berita tanggal 9 Januari 2017 bahwa dua Rancangan Perpres (1. Badan Siber Nasional, 2. Badan Sandi dan Siber Nasional / BSSN) sudah ditangan Presiden, cukup mengagetkan saya. Ada kronologis yang tidak sinkron di kepala saya karena Rancangan Perpres versi “Desk Siber” yang terakhir masih diedarkan untuk diparaf oleh beberapa menteri terkait (sebelum di paraf oleh Menko Polhukam). Proses Rancangan Perpres versi "Desk Cyber" bersifat inklusif, mengikuti tata aturan administrasi kenegaraan sehingga tidak "cacat administrasi". Ketidakcocokan ini sudah diluar kompetensi dan kemampuan saya untuk memahami.
Semoga bermanfaat bagi NKRI.
Gildas Arvin Deograt Lumy, CISA, CISSP, CLSIP, ISO 27001 LI/LA
- Koordinator Komunitas Keamanan Informasi (KKI)