Lihat ke Halaman Asli

Gilang Sotya Nugraha

Interested in medical study, philosophy, and political science

Mengenal Konsep Merdeka 100 Persen Tan Malaka

Diperbarui: 17 Agustus 2021   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tan Malaka - dawn.com

"Bangsa yang merdeka 100% adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain. " - Tan Malaka, dalam 'Merdeka 100% (1946)

                 Setidaknya begitulah bagaimana Tan Malaka mendeskripsikan bagaimana sebuah bangsa harus menjadi suatu bangsa yang berdikari dalam berbagai aspek bidang politik, sosial, dan budaya dalam kaitannya menjadi suatu bangsa yang 100 persen merdeka. Sebagaimana seorang marxist pada umumnya, Tan Malaka menentang segala bentuk imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang ditunjukkan bangsa - bangsa imperialis seperti Belanda dan Jepang. Tan Malaka, sebagaimana di dalam bukunya yang berjudul Aksi Masa', menggolongkan imperialisme menjadi bebeberapa macam.  Yang pertama adalah imperialisme dengan perampokan secara terang - terangan. Imperialisme jenis ini adalah jenis imperialisme yang pernah dilakukan oleh bangsa Portugis dan Bangsa Spanyol yang tidak segan melakukan peperangan dan intimidasi terhadap suatu kelompok bangsa di suatu daerah yang ditemuinya. Jenis imperialisme kedua adalah pemberlakuan monopoli perdagangan sebagaimana yang dilakukan kongsi dagang Belanda di Indonesia. Lalu ada imperialisme dengan setengah monopoli yang diberlakukan kongsi dagang Inggris di India. Jenis imperialisme terakhir adalah jenis imperialisme perdagangan bebas sebagaimana diterapkan oleh Amerika Serikat di Filipina.

                 Jenis - jenis tersebut sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Tan Malak dapat berbeda seiring dengan posisi dan bagaimana kondisi kapital yang ada di suatu wilayah pada suatu waktu. Sebagai contoh adalah bagaimana watak imperialisme yang terjadi pada waktu Portugis di Indonesia. Dengan belum adanya revolusi industri pada saat itu, watak kolonialisme Portugis masih sangat berwatak feodal sehingga yang terjadi adalah praktik kapitalisme dasar, perampasan hasil bumi untuk kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi di pasar Eropa. Hal ini tidak terlepas dari ketiadaan barang industri dan hasil manufaktur industri yang diproduksi seiring dengan belum berkembangnya teknologi pada saat itu.

                 Hal yang berbeda terjadi dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Meskipun di awal kedatangan nya kongsi dagang Belanda lebih berfokus terhadap hasil tani mentah yang dijual dengan harga serendah - rendah nya dan dijual dengan harga yang sangat tinggi di pasar eropa, tetapi seiring dengan perkembangan revolusi industri yang terjadi pada abad 18, tentu saja terjadi perubahan tren yang kemudian mengakibatkan devaluasi barang mentah. Akibatnya, terjadi industrialisasi yang dilakukan oleh Belanda secara bertahap kepada Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari bergesernya tren kapital yang tujuannya tetap melakukan monopoli terhadap komoditas - komoditas kapital yang ada di Indonesia.

                 Tan Malaka pada saat itu menyadari hal ini sebagai bentuk kapitalisme asing yang kemudian dipaksakan kepada kaum bumiputera untuk kepentingan asing juga. Hal ini tentu berbeda dengan bentuk kapitalisme yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara yang mana bentuk kapitalisme nya alami mengikuti kegiatan produksi yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga kemudian masyarakat itu sendiri yang menentukan bagaimana arah dan tujuan sektor industri dan sektor produksi. Di Indonesia, saat itu, para kaum bumiputera hanyalah sebagai jongos - jongos yang melayani kepentingan borjuis, baik borjuis asing maupun borjuis lokal yang juga merupakan kaki tangan Belanda. Mereka dipekerjakan sebagai penggerak kapital tanpa menguasai kapital tersebut. Alat - alat produksi pun selain tidak dikuasai oleh para bumiputera, juga tidak diproduksi di Indonesia, melainkan didatangkan dari negeri asing. Hal ini tentu saja menghambat benih - benih industri kaum bumiputera, yang tentu saja pada akhirnya menghambat pergeseran kelas sosial sebagaimana diungkap pada teori kelas Marx.

                  Dengan kesadaran kelas yang sudah terbentuk di dalam alam pikir Tan Malaka tersebut, wajar jika kemudian beliau bersikap keras terhadap berbagai jenis imperialisme, kapitalisme dan kolonialisme. Sikap non kooperatif Tan Malaka diwujudkan dalam berbagai tulisan agitasi yang tentu saja bagi Belanda dianggap subversif dan merupakan bentuk perlawananan. Salah satu tulisannya yang pada saat itu membuat ia dianggap sebagai ancaman adalah bukunya yang berjudul "Naar de Republiek Indonesia" atau Menuju Republik Indonesia. Di dalam buku tersebut, Tan Malaka menjelaskan bagaimana cara berbagai perjuangan revolusioner non kooperatif adalah satu - satunya cara untuk menuju Republik Indonesia yang merdeka. Di dalam buku itu juga dijelaskan bagaimana seorang kelas pekerja harus mempunyai kesadaran kelas untuk kemudian saling bekerja sama dengan kelas non pekerja di dalam menumbangkan sistem kapitalisme dan kolonialisme Belanda. Tan Malaka berpendapat bahwa untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka, bukan hanya dibutuhkan suatu pengakuan bangsa lain, tetapi juga dibutuhkan kedaulatan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya dan melepaskan diri dari berbagai ketergantungan terhadap pihak asing. Apalah arti merdeka jika pada praktiknya kita masih tunduk kepada kepentingan asing dan bersikap melunak kepada mereka. Sikap ini yang kemudian membuat Tan Malaka juga dipenjara pasca kemerdekaan karena dianggap melawan pemerintahan melalui partai murba nya.

              

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline