Seorang pria berdiri di tengah aula kampus dengan melebarkan kedua tangan yang memegang kendali alat panahan. Dengan seragam jersey putihnya, ia melepaskan anak panah menuju sasaran yang menancap tepat di lingkaran warna kuning dengan tulisan angka 9. Belum sempurna memang, tapi aku rasa ia sudah cukup puas dengan tembakannya barusan.
Ketika hendak melepaskan anak panah kedua, aku membuatnya sadar bahwa ada orang lain juga di sini. Kedua tangan yang kutepuk pelan membuat laki-laki muda itu menunda tembakan selanjutnya, lalu membalikkan badan hingga kami saling tatap meski dengan jarak yang cukup jauh.
"Kemampuan seorang atlet panahan kampus memang tak pernah bisa diragukan," kataku memulai pembicaraan.
Ia menatapku curiga masih dengan alat panah yang digenggamnya. Mungkin dia pikir penyelidikan dua hari lalu adalah awal dan akhir pertemuan kami. Tanpa disadari bahwa kesaksiannya, juga bukti dari Divisi Kejahatan Kepolisian, telah memutuskan secara final bahwa laki-laki berusia 20 tahunan ini adalah pelaku atas terjadinya kasus pembunuhan pelatihnya sendiri.
Rahmanto, 42 tahun, ditemukan tewas di lapangan dengan anak panah yang menancap tepat di bagian dada. Waktu perkiran kematiannya sekitar jam 7 malam, tepat ketika 10 anak didiknya menyelesaikan agenda latihan memanah untuk persiapan kompetisi antar kampus.
"Setengah jam yang lalu saya dapat kabar kalau data ponsel Pak Rahman yang dihancurkan pelaku ternyata masih bisa diselamatkan. Dan tebak, apa yang kami temukan di sana?"
Laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Sempat panik, namun beberapa detik kemudian kembali bersikap dingin seolah tak terjadi apa-apa.
Dia kembali memasang kuda-kuda dengan alat panah besar yang kini diarahkan tepat dihadapanku. Aku membalas dengan senyum simpul meski tahu bahwa sasaran panahnya kali ini adalah aku, sebagaimana yang dia lakukan terhadap korban waktu itu.
"Maaf, Detektif, seharusnya Anda tidak perlu ikut campur di kasus ini," ucapnya sebelum melepaskan anak panah.
***