Juni 2008
"Apa? Australia?"
Aku ingat, itulah respon pertamamu ketika tahu bahwa beasiswa yang aku ajukan setengah tahun lalu ternyata membuahkan hasil. Kabar baiknya, aku diterima di salah satu universitas di Kota Perth untuk melanjutkan pendidikan S2. Namun kabar buruknya adalah kita tidak bisa bertemu untuk waktu yang cukup lama.
"Apapun yang terjadi, kamu harus tetap ke sana. Kapan keberangkatannya?" tanyamu dengan antusias.
Di meja makan dapur rumah kita dengan hidangan sarapan yang kamu buat setengah jam yang lalu, aku menggenggam tanganmu erat. Mata kita kemudian saling berpandangan. Aku tahu, ada tatapan ragu dalam matamu itu.
"Kinar, itu artinya kita akan sulit bertemu. Kita suami istri dan kamu sedang mengandung. Mana bisa aku meninggalkan kamu sendirian di sini?"
Kamu terdiam sesaat, lalu tersenyum.
"Dimas, apa kamu lupa bahwa kamu benar-benar mengincar beasiswa ini? Kamu yakin akan melepasnya begitu saja?"
***
Juli 2008
Lima minggu setelah membuat keputusan yang berat itu, kamu mengantarku ke bandara. Semua masih baik-baik saja. Kita berpelukan erat beberapa saat sebelum aku pergi dengan koper besar ini. Untungnya ada Kirana, adikmu yang bersedia menemani di rumah selama aku pergi.