(1)
Di bawah langit Jakarta yang kusam,
aku menghitung deru motor seperti mantra patah:
satu untuk pagi, dua untuk macet,
tiga untuk jembatan layang yang menganga.
Langit di atas bukan biru, tapi abu-abu
seperti kemeja lusuh yang tak sempat dicuci.
Aku ingin pergi, entah ke mana:
mungkin ke gunung yang lupa berdiri,
di mana udara dingin bisa membungkus hati yang gerah.
(2)
Gangguan ini seperti kabel-kabel putus
yang melilit di tiang lampu jalan,
menjuntai, menggoyang, hampir jatuh.
Operator telepon berkata, "Tunggu sebentar."
Tapi sebentar di sini adalah selamanya,
seperti hujan pertama yang berubah jadi banjir.
Aku melihat bayangan orang-orang berlari di trotoar,
memegang payung plastik yang berlubang,
dan aku bertanya-tanya,
berapa banyak yang tenggelam hari ini?
Baca Juga: Dekat Denganmu
(3)
Kita bertemu di bawah halte yang penuh poster sobek.
Matamu seperti lampu redup di ujung gang gelap.
Kamu bilang, "Selamat Tahun Baru,"
dan aku tertawa,
karena apa yang baru dari tahun ini?
Bus lewat, menyemburkan debu dan angin kotor,
tapi kita tetap berdiri,
seperti dua patung yang lupa cara bergerak,
menunggu sesuatu yang tak akan datang.
(4)
Langit meremang,
lampu-lampu jalan menyala, berpijar kuning pucat,
seperti mata yang lelah menatap layar terlalu lama.
Aku membayangkan piring biru raksasa di langit,
berputar, jatuh, lalu pecah jadi jalan baru,
bebas dari lubang dan klakson.
Tapi khayalan itu tenggelam
seperti suara kuda yang melilit kabel-kabel listrik,
klakson mereka berubah jadi musik,
hilang ditelan dengung beton.
Baca Juga: Angin di Taman Gorky
(5)