Lihat ke Halaman Asli

Gilang Ramadhan

Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Pelukan di Jalan Braga

Diperbarui: 2 Januari 2025   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Plang Jalan Braga. Sumber: Unsplash.com/Rafli Ortega Jaya

(1)
Di sudut Braga yang tua, aku memainkan trik itu:
lengan melingkar, memeluk diri sendiri,
bayangan di etalase toko antik
seperti dua orang yang saling mendekap,
tangannya mencengkeram jaket denim,
kukunya menyentuh dingin leherku
yang sudah lama lupa hangat.

(2)
Dari depan, semuanya luruh.
Tertangkap dalam pantulan,
wajahku tersenyum setengah hati,
seperti pelukis di Alun-Alun
yang kehabisan warna.
Orang-orang lewat, matanya kosong,
dan aku berdiri seperti patung tua
menunggu diukir ulang.

Baca Juga: Jejak di Langit

(3)
Angin malam melintasi gang kecil,
membawa aroma kopi dan hujan.
Tapi semua itu tak cukup
untuk mengisi ruang yang retak
di balik jaket usang ini.
Pelukan ini seperti taman kosong di Dago,
indah, tapi sepi tak tertahankan.

(4)
Langit Bandung berpendar lampu jalan,
tapi tak ada cahaya yang bisa
menembus bayangan di dadaku.
Aku berjalan ke arah Gedung Sate,
mencari sesuatu yang hilang di trotoar,
atau mungkin hanya menghindari
pertanyaan dari diriku sendiri.

(5)
Kalau ada tukang jas hujan
atau jaket tebal,
mungkin aku akan bilang:
"Berikan yang paling erat, Pak."
Agar tubuh ini, di tengah dingin Kota Kembang,
setidaknya bisa terasa penuh,
meski hanya sementara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline