Jam tiga pagi, aku menyelinap, menghindari lantai kayu yang berderit. Kasur kita, sekotak dunia sempit, kau tinggalkan celah kecil: cukup untuk tubuhku yang lelah, cukup untuk rindu yang mendesak.
Lampu jalan menyelinap, memecah tirai, menorehkan garis cahaya di rambutmu yang kusut. Aku membeku, takut memecah kedamaian itu.
Langit-langit berbicara dalam diam, aku mendengar celotehnya. Mungkin kau akan menarik selimut lagi, atau menawarkan kakimu sebagai tanda "aku tahu kau di sini."
Hantu di sudut ruangan. Celana jeansmu yang terkulai di kursi; menjadi pengawas setia. Ia melihat semua, tapi berkata tak pernah ada yang salah.
Kau menggeliat, separuh tidur, separuh mimpi. "Sudah nulis?" kau bertanya, bisikan seperti daun jatuh. "Sudah, lima puluh puisi tentang hari-hari terakhir di muka bumi." Tapi aku tak ingat isinya.
Baca Juga: Cinta Menurut Seekor Kepik
Kata-kata seperti cokelat, manis tapi lengket. Mereka bilang cinta itu manis sampai semua cokelat hilang. Bijinya lenyap, pohon-pohon tumbang, rasanya hanya kenangan.
Aku mendekatkan dahi ke bahumu, mencium bau hari yang telah lewat. Keringat, sabun, dan sedikit kesedihan yang kau sembunyikan di celah napasmu. Kita berbagi ketenangan, di tengah malam yang setia menyimpan rahasia.
Jam terus berjalan, detiknya menari tanpa suara. Aku bertanya-tanya apakah kita menari juga, atau hanya berdiri diam di tengah ruangan kosong?
Aku mencintaimu dalam potongan kecil: celah kasur, jejak cahaya, bisikan kecil di pagi buta. Bukan grandiosa, hanya kepingan yang tak bisa diganti.