Lihat ke Halaman Asli

Gilang Ramadhan

Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Bayang dan Denting

Diperbarui: 25 November 2024   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Bayang-Bayang. (Sumber: Unsplas/Fabrizio Conti)

1.

Langkah-langkah mereka seperti bayang di balik kabut, tak bersuara, hanya menyentuh jejak tanah. Dia duduk di kursi rotan tua, menyeka keringat dari dahi yang tak lagi muda, hingga tangan kasar itu mengunci lengannya; tak ada kata, hanya dingin yang menggigit.

2.

Siang melambai seperti daun kering, dihembus angin, terseret ke ujung jalan. Orang-orang berdiri, tapi tak ada yang bergerak. Mereka mendengar, tapi suaranya samar, seperti bunyi ranting patah di dalam gelap, dan ketika tubuh itu terhampar; semua bisu, kecuali mata yang menyempit.

3.

Di langit, burung-burung terbang rendah, mengepak sayap seperti bunyi rencana. Apakah ini keheningan sebelum musim berubah? Orang-orang berbisik tentang "kaki-tangan setan," tapi jari-jari itu bercampur di antara kita: di balik senyum, di sela salam.

4.

Kota ini seperti jam pasir, butir-butir kebenaran jatuh perlahan, terkubur di bawah kemunafikan yang tebal. Korupsi berjalan tanpa irama: kadang di trotoar, kadang di ruang rapat, kadang dalam wajah-wajah yang mengundang.

5.

Nanti, ketika semua retak tak bisa diperbaiki, kita akan berdiri di bawah tiang bendera yang pudar, menanyakan siapa yang membawa kita ke sini. Tapi kebenaran tak akan mencatat, "oleh siapa," hanya "kapan". Dan bayang itu akan terus berjalan, mencari korban berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline