Lihat ke Halaman Asli

Gilang Ramadhan

Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Puisi: Badai di Mata

Diperbarui: 2 Desember 2024   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi by Elina Araja on Pexels

1
Badai di mata,
seribu malam menjerit,
musim panas dingin.
Aku berjalan sendiri,
bulan tetap tak bicara.  

2
Kosmik tak peduli,
miliaran mil sunyi,
kuhitung cahaya.
Lalu blues datang mengintip,
gema jalan penuh luka.  

3
Hutan imaji,
kuda nil jadi unicorn,
dongeng yang retak.
Aku duduk di sudut,
membakar waktu kemarin.  

4
Penyair berdusta,
puisinya dilipat rapi
di saku jaket.
Tragedi, hanya lagu
untuk pengembara mabuk.  

5
Kamar di bulan,
penuh debu mimpi buruk,
pintu terkunci.
Aku mengetuk pelan,
resah itu menjawab.  

6
Langkahku sunyi,
kaca pecah di trotoar,
angin membisik.
"Selesaikan," katanya lirih,
tapi aku tetap diam.  

7
Jarak matahari,
kilometer melayang,
hidup membeku.
Aku masih di sini,
mencari detak yang hilang.  

8
Malam mengubur
semua penyair lelah,
puisi mereka.
Tinta biru mengering,
tapi kesedihan hidup.  

9
Panggung dunia,
lampu mati, adegan
berulang lagi.
Aku ingin berhenti,
tapi akhir tak berakhir.  

10
Dipaku duka,
selimut musim membara,
es di nadiku.
Kadang ingin jadi lain,
tapi siapa yang tahu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline