Lihat ke Halaman Asli

Gilang Rahmawati

Sehari-hari menjadi kuli tinta.

Tangis Bayinya Marni

Diperbarui: 10 Oktober 2015   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Oe...oee...

Suara tangis bayi itu pecah. Lantai dua gedung pengadilan itu lalu mendadak riuh. Ujung telinga para pengunjung mencari asal suara. Termasuk aku, yang sedaritadi sibuk di dunia maya.

“Astaga, suara itu memang suara bayi. Ia tengah menangis di gendongan seorang ibu muda. Di sampingnya tampak seorang jaksa perempuan, turut sibuk mendiamkan tangis bayi. Jadi, ibu muda itu seorang terdakwa?” aku sibuk bergumam, sambil berjalan mendekati mereka.

Dua panitera mengekor di belakangku. Kami pun jadi bergerombol.

“Anak siapa ini? Kok nangis?” tanya Bu Rus, salah seorang panitera.

Sifat keibuannya pun muncul, ia langsung mengambil alih gendongan. Ditimang-timangnya bayi mungil itu.

“Anak saya bu,” jawab ibu muda yang akhirnya kami tahu ia bernama Marni.

Di saat mereka asik berbincang, aku masih sibuk memperhatikan dan bertanya dalam hati. Tentunya tentang sosok Marni. Kulihat pula ada perempuan lain yang ikut duduk di dekatnya. Mereka mengenakan baju yang sama, rompi biru sebagai tanda seorang terdakwa.

Iba yang kurasa membuat bibirku masih mengatup tak bisa bertanya. Kuputuskan hanya mengelus kepala bayinya saja. “Ganteng sekali,” celetukku tanpa sadar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline