Lihat ke Halaman Asli

Gilang Rahmawati

Sehari-hari menjadi kuli tinta.

Pendongeng dari Hutan Kalimantan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13855299551823914192

[caption id="attachment_294794" align="aligncenter" width="640" caption="(Ilustrasi: Foto Pribadi, GeeR)"][/caption]

Dua puluh tahun lalu, sore di bulan November telah tiba dengan rintik hujan yang menyapa di setiap sela dedaunan. Sepanjang jalan yang mendaki, tampak seorang anak laki-laki berlari-lari kecil sambil terus memegang tutup kepala jas hujan miliknya. Jejak kakinya membekas di tanah yang berlumpur.

Tangan kiri memegang kuat tutup kepala, dan tangan kanan memegang tongkat kayu. Yang digunakannya untuk mendaki. Hujan memang sudah reda, tapi rintiknya masih saja meluncur seperti peluru.

Kaki mungil itu berhenti di sebuah rumah sederhana, yang terbuat dari kayu jati. Tampak kokoh berdiri di tengah lebatnya pepohonan.

*tuk-tuk

Kakinya mengetuk-ngetuk kayu yang digunakan seperti keset. Ia membersihkan tanah yang lengket di telapak kakinya, lalu melepaskan jas hujan dan menggantungkannya di balik pintu.

“Ibu…Aku sudah pulang,” Sapanya sambil berjalan masuk, menaiki tangga menuju kamarnya.

“Ya.. Bergegaslah mandi, lalu ganti baju. Setelah itu ke meja makan, Ibu sudah menyiapkan makan malam. Setengah jam lagi Ayahmu pulang dari berburu,” Ucap Ibu sambil mengaduk isi di dalam panci.

Tepat saat Ayah pulang, matahari sudah terbenam di ujung bukit. Matahari berpamitan, Bulan datang menyapa. Jagau turun dari kamarnya yang berada di atas. Ia lalu duduk di kursinya sendiri, yang lebih pendek dari kursi Ayah dan Ibu serta kakak perempuannya –Bawi-. Jagau anak terakhir di keluarga tersebut, ia baru berumur 9 tahun.

Di saat waktu makan malam, ia tidak diperbolehkan berbicara. Sebab, kata orang tuanya itu tidak menghargai makanan. Banyak yang Ibu masak malam itu, ada semangkuk sup ayam dengan paha ayam gemuk yang mengapung, ada kulit cempedak yang digoreng, kue dari buah cempedak, Ibu juga memasak oseng sayur kelakai yang tumbuh liar di Hutan. Semua benar-benar diam, menikmati setiap gigitan. Jagau tahu, betapa nikmatnya makanan yang dibuat Ibu saat ia tidak berbicara. Sebab, dia bisa merasakan setiap gigitan tanpa gangguan.

Waktu makan malam sudah usai, di luar hujan turun lagi dengan deras disertai angin kencang. Terkadang Jagau selalu takut jika angin itu semakin kencang, ia takut rumahnya akan tertiup lalu dihempas keras oleh angin. Tapi, ketakutan itu cepat sirna di pikirannya saat Ayah sudah berteriak, “Waktunya mendengarkan dongeeenngg..”

Bawi sudah duduk bersama boneka kesayangannya, dipeluk sangat erat. Lalu Jagau datang, dan duduk di samping Bawi. Jagau menopang dagu dengan tangannya yang disandarkan di paha. Dan, Ibu masih duduk di dekat tungku, sambil merapikan meja makan. Ibu mendengarkan dongeng dari dapur, toh suara Ayah bisa menenggelamkan suara hujan, itu kata Ibu.

Ayah sudah siap dengan boneka-boneka kain miliknya. Boneka itu sengaja dibuat oleh Ibu untuk bisa memeriahkan dongeng Ayah. Ada yang berbentuk singa, kucing, burung hantu, bahkan Ibu pernah membuat boneka manusia yang diberi nama Jagau.

“Semua sudah siaaapp..?” tanya Ayah iseng.

“Sudah dooong..” jawab Bawi dan Jagau serentak, bersemangat.

“Malam ini Ayah akan mendongeng tentang persahabatan Nello dengan Anjingnya. Cerita ini Ayah dengar dari pedagang yang membawa turis di kota tiga hari yang lalu. Kata mereka ini cerita dari seorang penulis –Oudia- berkebangsaan Inggris-Prancis,”

Ayah mengeluarkan boneka berbentuk manusia dan juga seekor anjing. Dalam hitungan detik, Ayah sudah memulai mendongeng. Jagau suka sekali saat seperti ini, selain karena cerita-cerita Ayah yang begitu menarik. Ia juga suka karena waktu seperti ini bisa berkumpul dengan keluarganya.

Ayah bercerita tentang seekor anak anjing yang ditolong oleh seorang anak kecil bernama Nello. Sejak kehadiran anjing –diberi nama Patrasche- tersebut, Nello tinggal bertiga. Ya, dia dengan kakek beserta Patrashe. Anjing ini setia pada keluarga ini, selalu membantu menarik gerobak yang terisi oleh botol-botol susu. Pada awalnya gerobak itu selalu didorong oleh kakek, dari rumah di atas bukit (sama seperti rumah Jagau) lalu turun ke kota untuk diantar pada juragan. Tapi, karena Kakek yang semakin tua, sudah tak sanggup lagi menarik gerobak. Akhirnya Nello menggantikan pekerjaan kakek ini. Dia punya seeorang teman perempuan –Alois- (anak dari salah satu juragan tempat kakek bekerja). Nello suka sekali melukis, pernah ia melukis Alois dengan Patrasche yang kemudian dilihat oleh Ayahya Alois. Sejak melihat Nello melukis anaknya, Ayah Alois melarang Nello untuk datang ke rumah mereka lagi. Sebab Ayah Alois tidak suka anaknya berteman dengan pelukis apalagi miskin.

Dongeng itu semakin mengasyikan diceritakan oleh Ayah, dengan gerakan-gerakan boneka. Sesekali Jagau berteriak gembira, atau tertawa terbahak-bahak saat ada adegan lucu.

Dongeng yang diceritakan Ayah malam itu adalah dongeng yang menyedihkan. Jagau dan Bawi tak kuasa membendung air matanya. Ibu terkejut dari dapur, lalu lari mendekati Ayah.

“Kenapa mereka menangis?” tanya Ibu khuwatir.

“Ah tidak apa-apa Bu, mereka sedih sebab Nello meninggal sebelum sempat menjadi pelukis terkenal bersama Anjingnya..” Jawab Ayah sambil merapikan boneka-boneka kain.

Ibu mengelus kepala Jagau, “Ya sudah.. Sekarang sudah waktunya untuk anak-anak tidur. Naiklah ke kamar kalian masing-masing.”

Tanpa membantah, Jagau dan Bawi naik ke tangga menuju kamarnya yang ada di loteng. Jagau ternyata belum juga bisa memejamkan mata. Dilihatnya Bawi juga masih membuka mata, melihat ke atas plafon.

“Kak Bawi.. Aku ingin seperti Ayah yang pandai mendongeng. Dan, aku ingin sekali menjadi pendongeng yang berkelana ke penjuru dunia. Menurutmu bagaimana?” tanya Jagau dengan suara berbisik.

Hujan sudah reda, tapi suara angin masih terdengar berisik menghempas dedaunan.

“Ah, itu mimpimu terlalu tinggi. Aku tak yakin kamu bisa berkeliling dunia, ke sekolah saja kamu masih minta diantar,” celetuk Bawi.

“Ya itu Karena sekarang aku masih kecil. Aku ingin menjadi pendongeng kala aku besar nanti!” tegas Jagau sambil membalikkan badannya ke arah tembok.

“Itu tidak akan memberimu banyak uang Jagau!”

“Aku tidak butuh uang, karena aku butuh kegembiraan. Semua anak-anak pasti gembira dengar dongeng!”

Ia tidak suka saat kakaknya tidak mendukungnya. Mukanya bersungut-sungut di dalam selimut. Saat itu, malam sudah menggantung di kegelapan. Hutan telah sepi, terdengar suara jangkrik dan burung hantu. Mereka berdua tidak takut, sebab mereka lahir dan mungkin akan besar di tempat ini –Hutan Rimba- pelosok Kalimantan.

****

Kisah itu sudah berlalu dua puluh tahun yang lalu, kini Joe sudah menjadi dewasa. Ia menjadi anak laki-laki berbadan tegap dan berjanggut tipis. Ia sudah berusia 28 tahun, sejak usianya 20 tahun Ia sudah keluar dari rumah untuk berkelana. Sebab, kata Ayah seorang lelaki akan disebut lelaki setelah ia sukses berkelana mencari pekerjaan sendiri.

Banyak hal yang sudah ia kerjakan, tapi dia tidak pernah meninggalkan hobinya yaitu mendongeng. Sama seperti Ayahnya dulu saat mereka masih kecil. Benar sekali, Jagau masih berkeinginan menjadi pendongeng. Mengumpulkan semua cerita dari satu kota ke kota lain bahkan satu Negara ke Negara lain.

“Lihaaatt lihaat, Kak Jagau sudah datang. Itu janggutnya sudah melambai-lambai pada kita,” teriak seorang anak laki-laki yang sudah tidak sabar menanti pendongeng.

Jagau kini berada di pelosok Papua. Dia telah meninggalkan Kalimantan kurang lebih dua tahun, dan meninggalkan rumah kayu di tengah Hutan selama lima tahun. Ia akan selalu merindukan rumah itu.

Jagau turun dari sepedanya, lalu berjalan memasuki halaman sebuah sekolah darurat (yang ia buat sendiri). Sebelum benar-benar memasuki halaman, ia dihadang oleh beberapa orang. Dengan bahasa daerah yang sedikit-dikit dimengerti oleh Jagau, orang-orang itu menjelaskan atas keberatan mereka karena Jagau mendirikan sekolah darurat itu tanpa perijinan. Mereka sebenrnya tidak tahu, kalau Jagau sudah meminta ijin terlebih dahulu kepada kepala adat serta orang tua yang anankankanya tengah menunggu Jagau di ruangan itu. Jagau tersentak, kaget.

“Maaf, tapi saya sudah meminta ijin dari orang tua anak-anak itu. Dan, kata mereka saya boleh menggunakan tempat ini. Bahkan kepala adat juga setuju. ” Terang Jagau.

Tapi, penjelasan itu masih ditentang oleh orang-orang tadi. Jagau bingung dan mendadak ia ingat dengan sebuah kertas berisi tanda tangan di dalam tasnya.

“Mungkin, ini bisa dipercaya..” disodorkannya kertas tersebut, ya kertas yang berisi persetujuan dari orang tua anak-anak.

Orang-orang itu membentuk bulatan kecil, mendiskusikan sesuatu. Lalu berjalan kembali mendekati Jagau sambil memberi jabatan tangan. Jagau menghela nafas, lega.

“Terima Kasih..” ucap Jagau sambil berjabat tangan lalu masuk ke dalam ruangan.

Anak-anak yang tadinya memasang raut bingung, kini sudah berubah riang. Lalu kembali berteriak, “Jadi, sore ini kita dapat cerita apa kaaaakk…?”

Jagau dirumbung oleh pelukan anak-anak. Ia kemudian berjalan dan duduk di ‘singgasana’nya. Semua benar-benar dilakukannya sama seperti Ayah mendongeng waktu Jagau kecil dulu. Banyak boneka kain yang sudah dibuatnya, ditambah ia membuat sebuah panggung dari kardus.

Hari ini Jagau rindu pada keluarganya, itu sebabnya Jagau berkata pada anak-anak, “Hari ini karena kakak sedang kangen dengan keluarga kakak di Kalimantan. Kakak akan menceritakan kisah yang paling kakak suka dari Ayah. Semua sudah siap? Duduk lah yang rapi, sebab nanti setelah selesai bercerita kakak akan menyuruh kalian menceritakan ulang dongeng ini. Okee..”

“Siaapp..”

Jagau duduk dengan wajah sumringah, tangan kanannya sudah terpasang boneka kain manusia dan tangan kiri boneka berbentuk anjing.

“Dongeng sore ini tentang Nello dan Sahabatnya, seekor Anjing Fleming bernama Patrasche..”

Sepanjang bercerita, Jagau selalu bergumam,

“Ayah.. Ini cerita yang menyedihkan tapi cerita ini yang paling aku suka saat Ayah mendongeng. Aku bisa menangis karena Ayah menceritakannya dengan bagus. Kali ini aku ingin mengetes diriku, Apakah aku sepandai Ayah dalam mendongeng.. ”

S E L E S A I

****

“Aku menulis dongeng, untuk pendongeng yang nanti mendongeng”

(GeeR)

Palangka Raya, November 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline