Sepak bola menjadi cabang olahraga paling populer tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Berbicara mengenai sepak bola
Indonesia, kita tahu bahwa saat ini kondisi sepak bola Indonesia sedang tidak di masa yang baik-baik saja.
Prestasi timnas mentok menjadi finalis, banyak oknum pengurusnya yang bermasalah, hingga masalah perseteruan antar suporter yang tak kunjung usai. Namun, meski minim prestasi, sepak bola Indonesia, tetap menjadi olahraga terpopuler di Indonesia dengan jumlah penggemar yang banyak bila dibandingkan cabang olahraga lain.
Fanatisme ini dapat dibuktikan saat bergulirnya liga antarklub. Data yang diambil dari databoks, jumlah penonton Liga 1 2019 mencapai 2.863.876 penonton, menjadi yang terbanyak di Asia Tenggara. Dikutip CNN, Indonesia menjadi negara kedua di dunia terbanyak dalam ketertarikannya terhadap sepak bola,
dengan angka 77 persen penduduk mencintai sepak bola. Dengan jumlah yang banyak seperti itu, tidak heran jika sepak bola menjadi topik perbincangan mereka sehari-hari.
Namun, kepopularitasan sepak bola tidak hanya membawa hal positif, tetapi menimbulkan dampak negatif juga. Kefanatikan suporter Indonesia terhadap klub yang mereka dukung seringkali malah membuat rusuh antar suporter ketika timnya mengalami kekalahan. Mesti diingat, bukan olahragnya yang salah, melainkan cara pendukungnya dalam berperilaku.
Dukungan masyarakat Indonesia terhadap Timnas-nya juga tak terlepas dari fanatisme ini. Oleh karena itu, momen ketika timnas bermain yang menjadi ajang para supporter klub dari seluruh penjuru Indonesia bersatu untuk mendukung satu tim yang sama, Tim Nasional Indonesia.
Namun, apakah dukungan sebesar itu sebanding dengan prestasi yang didapat? Sayangnya, dalam ajang SEA Games saja, terakhir kali cabang sepak bola kita membawa pulang medali emas yakni ketika SEA Games 1991, atau 31 tahun yang lalu. Ajang AFF pun kurang berpihak pada Indonesia,
timnas kita hanya menjadi runner-up sebanyak 6 kali. Masyarakat Indonesia mungkin sudah "jenuh" dengan kalimat "terima kasih sudah berjuang", "kalian tetap juara di hati", dan kalimat-kalimat penyemangat lainnya.
Bila dibandingkan dengan prestasi tim futsal putra Indonesia yang seringkali mencetak prestasi membanggakan dan berada pada ranking 37 dunia, timnas sepak bola Indonesia masih berada di kelas yang berbeda. Anehnya, pada ajang SEA Games 2021 kemarin,
tim futsal putra malah dicoret sebagai perwakilan karena dianggap tidak akan mampu membawa pulang medali. Walaupun karena banyaknya desakan publik, akhirnya timnas putra futsal tetap diberangkatkan ke SEA Games Vietnam. Hal ini menjadi salah satu kasus terbaru yang menggambarkan bahwa pemerintah tetap menomorsatukan sepak bola.
Meski begitu, harapan masyarakat Indonesia terhadap tim nasional sepak bola tetap sangat tinggi. Harapan untuk melihat Indonesia setidaknya mampu merajai sepak bola Asia Tenggara, lagi.