Aku adalah semak ditengah belantara, tak tahu harus kemana dan bertanya pada siapa, hanya bayang pohon besar yang ada.
Aku adalah jalan setapak, terisolir, terpencil, dan terabaikan oleh para pembesar negara dan orang kaya yang sibuk padati jalan raya.
Aku hanya rumah kecil sederhana, ditengah hutan beton yang sombong dengan mewah dan megah mencakar langit, menutupi kenyataan pahit.
Aku hanya rumput teki kecil, yang terabaikan dan terinjak-injak bahkan sering kali dianggap pengganggu dan harus dienyahkan.
Kenapa sinar surya, hanya dia yang besar yang menikmatinya dalam rimba, sementara aku dan kameradku, semak dan perdu harus mengantri mencuri dari dia dan kroni borjuisnya, tapi mengapa tak seorangpun mengerti aku mencuri karena aku dicuri.
Kenapa jalan besar itu begitu angkuh, dia bising mendengung beriring suara mesin beroda, milik mereka yang berada, sombong pada mereka yang beralas sandal, sementara aku si jalan setapak kecil, masih disini ditengah hutan sendiri, meratap sepi dan sunyi, tanpa ada yang menemani.
Kenapa dia yang jadi beringin yang sering kali rubuh meminta nyawa malah disembah dan diberi sesaji? Aku juga ingin menjadi beringin walau harus diterpa angin, namun setidaknya orang lain, termasuk kamu dapat melihatku dengan segan. Tapi apa daya, aku hanya rumput teki, pencari jati diri, wujudku padi, tapi aku bukan padi, hanya gulma kecil yang sendiri.
Inilah aku, kecil dan terabaikan, dan mulai tercampakkan, dan itulah dia, besar dan diagungkan, dan menjurus pengkultusan. Ya, inilah aku dan itulah dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H