[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi"][/caption]
Berjalan tanpa tujuan, mencari bayangan, mencari kesunyian, agar aku dapat menikmati segala macam kesepian dan kesendirian. Bersama gemuruh daun merangas dijilat terik matahari yang panas, aku coba berbagi kisahku denganmu, dengan beberapa kawan, dengan genangan air, dan dengan angin yang mendesir, kejauhan ku lihat kau melangkah semakin jauh dengan sepotong coklat pemberiannya ditanganmu.
Hingga langit mencaci maki, matahari terus meludahiku dan menghinadinaku yang tetap saja mengingat tentangmu, ku genggam silet yang berkarat, aku bagaikan anjing sekarat disudut lobi gedung kampus kita, seakan-akan aku adalah orang paling bangsat dan melarat diseluruh kolong langit, menjadikan aku kini keparat kecil yang terduduk menunduk menunggu mati.
Dengan sebatang rokok yang tak pernah kubakar, terus kubaca pesan-pesanmu yang lalu, membuatku membangkitkan beberapa kenangan seperti barisan mayat hidup ditengah perkuburan, tentang impian cinta seorang pangeran proletariat yang mangkat sebelum ia wafat, dan seorang putri cantik yang katanya tak dapat beranjak dari masa lalu yang melumat.
Aku mulai bicara sendiri, berandai-andai kau sedang duduk disampingku, dengan mata yang berkaca-kaca, pun aku mungkin menyalahkan Tuhan yang mempertemukan kita, sejenak kau terbangkan aku dengan berondongan kebohongan dan selusin kemunafikan, namun kini kau beri aku sekelumit kenyataan pahit yang tak akan pernah kulupakan, seketika menghempaskan semua harapan dan cerita picisan yang pernah kau ucapkan dengan senyum manis yang pernah mengembang di bibirmu.
Melihatmu, mendengarmu dengan dirinya, atau apapun tentangmu adalah siksa tak berkesudahan, namun aku bertahan dari segala macam gelombang memabukkan yang menggejolakkan jiwa ku hingga hampir ku muntah diatas meja perpustakaan tempat kita bertukar pikiran dan senyuman. Mengapa dahulu kau yang bilang butuh diriku, mempertanyakan keseriusanku, menuduhku mempermainkanmu, bila pada akhirnya aku kau tinggalkan dengan segumpal penyesalan dan segenggam angan yang tak pernah jadi kenyataan.
Aku memaki-maki siapa pun yang melintas dihadapanku, membuat setiap kepala mereka mengkerut antara bingung dan takut. Aku hanya seekor anjing yang lebih bodoh dari seekor babi yang lebih tolol dari seekor keledai, yang jatuh dua kali dalam dua lubang yang berbeda dengan cara yang sama.
Haruskah aku berdo'a untukmu dan untuknya? Jika memang dia bahagiamu, tolong, ini terakhir kalinya aku meminta tolong padamu, raihlah kebahagiaan itu dimana aku tak dapat melihatnya, mendengarnya, merasanya, memikirkannya, ataupun menjangkaunya, agar aku tak perlu lagi mengganggu kehidupanmu yang sempurna dengannya, agar tak ada sesak di dada, atau hati yang terisak-isak tertahan oleh bendungan kelopak mata yang akhirnya tak mampu bertahan.
Aroma dendam dan kekecewaan yang kental, membuat darahku bergumpal, hingga jantungku terus membual, aku tetap saja menulis dengan nadi yang nyaris teriris, mengingat kita pernah punya cerita manis seperti namamu, meskipun sejarah hidupmu tetap enggan menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H