Siang hari ini amat terasa sangat terik, tak heran bila kemudian jalanan kota begitu lengang. Memang belum pernah saya temui penelitian terkait terik matahari dengan dampak yang diciptakannya seperti jalanan kota yang jadi lebih lengang. Namun beberapa waktu terakhir jalanan Ibukota memang nyaris jarang macet. Selain pengaruh kebijakan pemerintah mengurangi mobilitas warga, disisi lain nampaknya masyarakat pun sudah punya kesadaran mandiri akan bahaya wabah.
Orang intelek mengatakan bahwa fenomena tersebut terjadi karena kesadaran sosial publik yang mulai membaik. Sementara bagi orang awam yang hidup jauh dari gedung pencakar langit tak peduli apa-apa lagi. Toh mereka tak punya waktu untuk memikirkan ekonomi, isu politik, atau sekedar mencari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi dibalik kelengangan jalanan kota akhir-akhir ini, mengurusi perut sendiri pun mereka sudah tergopoh.
Agaknya saya terlalu jauh meracau, padahal tadi saya hanya merasa kepanasan didalam perjalanan menuju rumah. Awalnya saya ingin meminggirkan kendaraan yang saya pacu, namun trotoar pun sepi. Tak ada tukang kopi keliling, warung kopi, atau tempat-tempat bersahaja lainnya untuk ngaso bagi kelas protelar.
Dulu tak sulit mencari toko kelontong di tepi jalanan, tak terkecuali jaringan toko kelontong yang berasal dari Amerika Serikat yang bangkar pada tahun 2017 silam. Berkat gerai-gerai yang buka 24 jam tersebut, kita tak mesti blusukan masuk ke gang-gang kecil untuk mencari tempat ngopi yang bersahaja, kongkritnya murah bagi anak muda.
Saya mengingat toko kelontong "7-11" ketika memasuki jalan Matraman Raya, sebuah wilayah yang tak asing lagi. Selain saya tahu persis di tepi jalan ada bekas gerai 7-11, saya juga pernah menimba pelajaran sosialisme di sini. Selain membeli secangkir kopi/teh buat diuyup dalam tempo yang selambat-lambatnya, katakanlah saya juga membeli pergaulan dengan para akamsi (anak kampung sini) dari berbagai kalangan.
Sejak didaulat sebagai remaja, saya mulai betah berlama-lama di warung kopi, entah mengapa saya lebih doyan merentangkan pergaulan dan mencari kawan sebanyak-banyaknya di tempat ngopi (jauh sebelum film Filosofi Kopi rilis tentunya). Hal yang lumrah terjadi mestinya dan saya tak perlu kaget. Tapi saya selalu tergoda untuk menertawakan masa-masa yang sudah lampau itu.
Demi menghentikan pelbagai kecamuk dari isi kepala, saya mulai membelokan tujuan berkendara. Walaupun beda rute dengan jalan pulang menuju rumah, tak apalah demi mendinginkan kepala yang kepanasan barang sebentar. Meski tujuan tersebut agak gambling juga, sebab tak banyak warkop yang berani buka di masa darurat pandemi seperti sekarang ini. Peduli lah, kadang hidup perlu mencari jalan berliku sebab jalan lurus dan mulus kadang hanya bikin ngantuk.
***
Saya melihat seorang bapak terduduk sendiri di warung kopi, dengan tumpukan koran dihadapannya juga secangkir minuman yang terlihat seperti segelas teh gantung.
Saya memang belum juga sampai ke warkop yang saya cari, saya kembali menghitung probabilitas apakah tempat yang saya cari itu buka atau tutup. Namun sebelum mendapatkan hasilnya, saya lebih tergerak menghentikan kendaraan sambil menilik ruang kosong untuk parkir.
"Kopi tubruk satu, mbak," pekik saya kepada penjaga warkop seraya membuka helm yang masih terpasang.