Dunia sedang tidak berputar pada porosnya, sehingga sesuatu yang tidak penting menjadi amat sangat penting. Sementara yang penting terlihat tak punya urgensi apa-apa. Demikian kata Sabening, seorang yang merasa proletar sejak lahir.
Sekali lagi, Ia menguatkan argumennya sambil memprovokasi pohon-pohon pisang yang berjejer dihadapannya. Kelak kita akan menyaksikan hamparan sawah, perkebunan, dan hutan nun asri menjadi pemandangan yang hedon, sementara gedung pencakar langit dipandang bak orang-orang proletarian yang berserakan.
Beberapa abad ke depan, Sabening meyakini bahwa manusia akan merindukan hal-hal yang damai tak ubahnya keasrian yang dihamparkan oleh alam dihadapannya kini. Gedung-gedung menjulang akan terasa menjemukkan dan menggerahkan sekalipun pendingin ruangan menyala setiap waktu.
Namun, lagi-lagi yang menjadi korban adalah kaum kecil, proletar Ia biasa menyebutnya. Kelak, dalam bayangan liar Sabening, proletar yang hidup sejahtera dengan alam akan dipindahkan ke gedung-gedung bertingkat dan kaum borjuis akan mengambil alih sewenang-wenang apapun yang hendak mereka cari dan butuhkan.
Hamparan sawah, kebun, dan hutan dengan latar pegunungan yang kebiruan menjadi kerinduan para borjuis pada kehidupan yang tentram. Mereka menduga, untuk mewaraskan pikiran penting sekali mereka pergi ke desa-desa dan bertukar kehidupan dengan para proletarian.
Pikiran Sabening makin kabur, dunia berputar hanya untuk kaum borjuis saja. Mereka yang punya duit bisa memutar poros dunia sesukanya bak mereka memutar roda permainan rolet di kasino.
Sementara kaumnya tak bisa memutar dunia suka-suka hatinya. Bukan tanpa perjuangan, Sabening bersama para kamerad proletarian lain di kampungnya pernah berlari dan berontak untuk merebut dunia namun lagi-lagi mereka terjungkir oleh kenyataan bahwa para ploretarian yang tak punya cuan takkan bisa mengubah apa-apa.
Jangankan meraih roda dunia yang tengah berputar untuk para borjuis, mengubah dunia untuk sedikit lebih adil saja sulit. Sabening mulai berpikir, andai alat tukar untuk melakukan transaksi sehari-hari diubah seketika dari uang ke bahan pangan yang tersedia di kebun dan sawahnya yang luas, Ia membayangkan sistem barter yang pernah dilakukan antar-suku pada 6000 SM digunakan kembali.
Beberapa saat kemudian Ia lantas tertawa terbahak-bahak memikirkan para kaum berduit jatuh miskin. Meskipun hanya pikiran liar, Sabening begitu mensyukuri. Sebab hanya dengan cara itu Ia bisa meraih hedonisme. Lantas, mengapa Sabening berseberangan dengan orang-orang kota berduit?
Sabening mesti memanggil ingatannya berpuluh tahun kebelakang untuk menerangkan detail-detail duduk perkara yang sebenarnya. Pada masa kolonial, ayah Sabening, Sumohardi, punya usaha rumahan mengolah tebu jadi ciu.