Lihat ke Halaman Asli

Gilang Dejan

TERVERIFIKASI

Sports Writers

Adakah Imbas Omnibus Law bagi Industri Sepak Bola?

Diperbarui: 11 Oktober 2020   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Sepak Bola Indonesia (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Undang-undang Omnibus Law merupakan UU yang bersentuhan dengan berbagai macam topik yang dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas, atau mencabut sejumlah UU lainnya, salah satunya UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang bersinggungan langsung dengan para pekerja atau buruh. Lantas, adakah dampak UU ini bagi sepak bola?

Bagi sepak bola sendiri, memang dampaknya tak ada. Namun, bila kita berbicara industri sepak bola. Maka, dampaknya akan sangat terasa. Seperti kita ketahui bersama, pada 2004 silam PSSI mulai melakukan transisi terhadap pengelolaan sepak bola nasional menuju industri sepak bola. Pijakan legalnya adalah Club Licensing Regulation yang diterbitkan FIFA.

(Sumber Foto: Waspada Online)

Inti dari rules tersebut mewajibkan setiap federasi sepak bola negara untuk mengimplementasikan pengelolaan sepak bola yang profesional dan mulai meninggalkan pengelolaan lama; klub plat merah, yang mana anggaran dikucurkan lewat pemda setempat lewat sumber dana APBD.

Tentu manuver tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri bagi klub-klub nasional. Parameternya tentu mesti berbadan hukum, mengacu pada badan hukum yang berlaku di Indonesia maka bentuk yang dikenal adalah PT, yayasan, dan koperasi.

Sejauh ini, bentuk badan hukum PT menjadi populer di kalangan klub sepak bola nasional. Dan klub yang telah berbadan hukum mesti tunduk pada UU nomor 47 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

Bila bicara PT, katakanlah para pekerja yang bekerja di PT. Persib Bandung Bermartabat misalnya, mulai dari Media Officer, Social Media Administrator, Graphic Designer, Business Analyst, Creative Director, OB, Satpam, dan lain sebagainya merupakan para pegawai atau buruh yang mesti tunduk pada UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

Hal demikian dibenarkan oleh Pengamat Hukum dan Olahraga, Eko Nur Kristiyanto atau akrab disapa Eko Maung. Menurutnya industri sepak bola bukan hanya pemain, pelatih, atau ofisial. Melainkan juga ada buruh ekslusif di dalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ekosistem dan korelasi pengusaha dengan pekerja tercipta di klub sepak bola.

"Dampaknya jelas ada, kan pekerja di klub sepak bola pro bukan cuma pemain dan pelatih, tapi ada juga 'buruh' ekslusif seperti media officer, finance, OB, satpam, admin medsos, dsb. Klub sepak bola berbentuk PT berdasar UU 40 2007, jadi hubungan pekerja-pengusaha tercipta di klub," tulisnya di akun twitter pribadinya, @ekomaung.

Transisi Sumber Dana dari APBD Menuju Perseroan 
Klub-klub sepak bola nasional yang berawal dari perserikatan sempat merasakan betapa manisnya saat mereka masih menikmati sokongan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pada masa lalu.

Berbekal suntikan gelontoran dana APBD dan di kombinasikan dengan pejabat daerah yang merangkap sebagai petinggi klub atau sebaliknya, maka mereka bisa belanja secara foya-foya di bursa transfer pemain demi melanggengkan target juara.

Hal itu tentu tak berlaku bagi klub-klub yang berasal dari kompetisi Galatama. Klub-klub jebolan Galatama yang identik dengan nama yang lebih kreatif umumnya didirikan oleh para pengusaha yang gila bola di suatu daerah. Klub menyambung hidup dari dana pribadi petinggi klub.

Namun demikian, keistimewaan yang didapat klub-klub jebolan perserikatan kemudian sirna pada 2011 silam setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu Gamawan Fauzi melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub-klub sepak bola profesional. Landasannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2011, yang efektif berlaku per 1 Januari 2012.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline