Aku tak ingin puisi tentang kerinduan yang terlampau klise.
Merawi perkawanan bir dan lilin batik agaknya lebih memikat untuk semotif perayaan.
Kucabik-cabik diktum kaum perindu yang kolot.
Karenanya siapapun berdaulat menghayati malam tanpa bertikai dengan kerinduan.
Botol itu mulai mendesis, tidak riuh tak jua lebih lirih. Jamak sekali.
Desisnya menonjolkan pertanda demi pertanda.
Setengah isi botol kabur dari gelas.
Malar-malar yang tersisa mulai menyerang nalar.
Malam kian tak beraturan, kuintai rindu itu menyeludup bersama angin.
Merobohkan pertahanan, melemparkanku pada faktisitas kesendirian.
Kupanggil penyusup itu, kurasakan sesuatu melabrak diriku.
Persis mendiang Maria!
Diksi tukang teler memang kibang-kibut.
Tapi di bumi yang tengah lunglai, tak ada yang sungguh-sungguh tertib.
Pemabuk dan perindu ugal-ugalan tiap malam.
Maria pun tak canggung menghajarku.
(Gilde, 29 April 2020)
Selamat hari puisi nasional 2020!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H