Lihat ke Halaman Asli

Gilang Dejan

TERVERIFIKASI

Sports Writers

Klub Profesional yang Enggan Ideal

Diperbarui: 6 November 2017   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Bolasport.com

Ada dua kata yang memisahkan Persib Bandung musim ini: Profesional dan Ideal. Harus diakui, tim Maung Bandung merupakan salah satu klub di Indonesia yang mendapat label profesional dari AFC. Hanya segelintir klub nasional yang mampu mendapat label tersebut salah satunya Arema. Dari segi keuangan klub, Persib bisa dikatakan salah satu proyek percontohan klub pro masa kini di tanah air. Semua sektor yang berkaitan dengan klub, dikelola dengan benar dan tentunya menimbulkan feedback yang luar biasa bagi kas manajemen.

PT. Persib Bandung Bermartabat atau disingkat PT.PBB yang menaungi tim ini perlu diacungi jempol dalam hal pendanaan klub. Mereka senantiasa konsisten menggandeng sponsor dengan nilai-nilai yang tak masuk diakal atau membuat klub lain iri. Keberadaan Bobotoh sebagai fanbase klub merupakan hal utama yang diinginkan/diincar oleh pihak ketiga (sponsor). Dan, tanpa adanya sponsorship pun rasa-rasanya Persib akan sanggup sekurang-kurangnya untuk memenuhi kebutuhan pemain hanya dari saku bobotoh.

Ticketing, merchandise, hingga kata 'udunan bobotoh' (baca: iuran bobotoh) pun akan sanggup membiayai Persib alakadarnya sebagai klub yang berkiprah di Liga Utama (Seandainya Persib tidak mampu menggaet sponsor). Seperti yang terjadi saat bobotoh mengumpulkan koin sebagai bagian daripada membantu klub yang disanksi akibat aksi "Save Rohingya" yang dianggap oleh PSSI sebagai aksi yang mengandung muatan politik dan melanggar statuta.

Musim ini, bobotoh terlalu dikecewakan oleh manajemen lantaran mereka menganggap bahwa para petinggi klub menggunakan nama besar Persib Bandung sebagai tools atau alat demi menjalankan proses bisnis. Musim ini bisnis merupakan orientasi klub. Golden era hanyalah kedok dari proses bisnis yang pada akhirnya membuat bobotoh merasa dirugikan melihat tim-nya terseok-seok di papan bawah.

Tentunya, bobotoh sebagai rakyat memiliki wewenang penuh untuk mengkritisi klub-nya. Adapun beberapa hal telah disampaikan melalui aksi nyata dan beberapa aksi lain. Sepanjang musim ini, Bobotoh telah melakukan beberapa aksi sebagai bentuk protes terhadap klub kesayangannya yang menurut mereka sendiri sudah keluar dari jalur sebuah klub sepakbola. 

Salah satunya dengan aksi turun ke jalan alias demontrasi, kemudian aksi lainnya dengan mengosongkan stadion saat Persib bermain kandang, ada juga aksi yang lebih ekstrim dengan cara turun ke lapangan hingga mengejar pemain sampai loker room sambil meneriaki nada-nada sumbang kepada pemain.

Aksi demi aksi diatas menunjukan bahwa mereka sedang kecewa dan berharap manajemen/para petinggi klub segera mengadakan evaluasi. Didengar atau tidak, bobotoh adalah rakyat yang benar. Rakyat sebagaimana rakyat dalam sebuah Negara yang memiliki kuasa penuh untuk mengkritisi, menyuarakan, dan mengawal kerja para pejabat klub.

Dalam hal ini, penulis pun punya kuasa untuk mengeluhkan apa saja keluh kesah yang ingin disampaikan karena data dalam artikel yang baik itu biasanya berawal dari keresahan alias pengalaman si penulis itu sendiri. Baiklah, diluar si penulis ini bobotoh atau bukan. Jika pun penulis dianggap bukan seorang bobotoh Persib maka anggap saja penulis merupakan salah seorang penulis yang sedang respek terhadap sebuah klub besar yang tengah terpuruk musim ini. Kumaha maneh we!

Banyak hal-hal elementer/sederhana di lapangan mengenai kesalahkaprahan dalam arti lain tidak ideal bagi sebuah klub, yang mungkin tidak disadari/bisa jadi disadari tapi manajemen tengah berpura-pura tidak sadarkan diri. Adalah masalah orang-orang yang duduk di bench, dan SOP/tata cara seorang manajer bertindak dalam bursa transfer. Dua hal sederhana tapi vital sekali rasanya.

Kita awali dari bursa transfer terlebih dahulu, mengingat sebelum mengawali musim sebuah klub harus mengarungi fase ini. Campur tangan, Ya, kombinasi dua kata diatas agaknya sudah bisa ditebak oleh para bobotoh fanatik. Selalu ada intervensi mengenai perekrutan pemain dari manajemen. Sebetulnya, seorang manajer hanya memiliki kuasa untuk memilih pelatih di bursa transfer, selebihnya serahkan kepada pelatih yang telah ditunjuk untuk merekrut pemain yang diinginkan.

Sebuah kesalahkaprahan di Persib yang makin kronis ini cukup memengaruhi kinerja seorang juru racik strategi. Kita flashback ke belakang, bagaimana seorang Djadjang Nurdjaman memulai musim keduanya setelah mempersembahkan gelar juara dengan istilah kata transfer "panic buying". Karena Djanur hanya diberikan separuh kuasanya dalam memilih pemain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline