Catenaccio atau pertahanan grendel sudah sejak lama beredar dalam sepakbola, produsen utama dalam lahirnya sistem ini ditenggarai oleh Austria bukan negeri Pizza Italia, justru Italia hanyalah konsumen. Sistem Verrou merupakan cikal bakal sistem catenaccio, debut sistem verrou dimainkan oleh pelatih asal Austria bernama Karl Rappan saat menangani Timnas Swiss di medio 1930-1940an.
Jadi, nama beken semacam Giuseppe Viani, Nereo Rocco, sampai Helenio Hererra yang dikenal sebagai revolusioner sistem pertahanan sedikit keliru. Karena mereka mereka itu hanya mengadopsi sistem yang sudah ada. Pun dengan pelatih Italia lain yang mengandalkan catenaccio, tidak ada revolusioner, yang ada hanya pembaruan sistem.
Pada dasarnya, catenaccio dan strategi parkir bus itu jauh berbeda. Di Italia, cara bertahan adalah seni, sedangkan parkir bus adalah permainan para pecundang. Asumsi yang berbunyi catenaccio adalah negative football, anti football, dan segala suara sumbang lainnya terhadap sistem ini merupakan kesalahan sudut pandang penikmat sepakbola yang tidak paham seni dalam sepakbola.
Memang, perlu diakui bahwa menyaksikan sepakbola dengan sedikit gol dan peluang itu menjemukan. Rasanya sangat monoton dalam 90 menit hanya sebiji gol yang tercipta bahkan tidak sama sekali. Namun, perlu diluruskan bahwa catenaccio merupakan strategi awal untuk menyerang.
Walaupun sistem ini berawal dari Verrou ala Rappan, Catenaccio tetap memerankan sumbangsihnya dalam dunia sepakbola, legenda macam Franco Baresi, Paolo Maldini, Fabio Cannavaro, Alesandro Nesta, Leonardo Bonucci, dan Giorgio Chielini terlahir dari sistem ini yang diperbarui secara rutin dari masa ke masa.
Catenaccio awalnya hanya bisa diterapkan dengan pola satu sweeper dibelakang tiga bek namun seiring berjalannya waktu modernisasi dari sistem ini terus dilakukan. Hingga pada saat sistem ini tengah redup-redupnya tergilas oleh sepakbola modern seperti Total Voetbal rasa Belanda, Tiki taka made in Spanyol, hingga gegen pressing ala Jerman catenaccio terus dikembangkan oleh pelatih muda. Salah satunya adalah Antonio Conte dan Massimiliano Allegri.
Dua Italia ini tengah gempar-gemparnya membangkitkan catenaccio dalam versi terbaru. Satu berorasi di London, Inggris (baca: Antonio Conte). Sedangkan yang satu tengah meneruskan proyek jangka panjang di Turin, Italia (baca: Massimiliano Allegri), yang sebetulnya merupakan warisan dari pelatih sebelumnya. Dalam artian, disini Conte lebih berjasa dalam perkembangan seni bertahan terbaru di dunia sepakbola modern hari ini.
Conte meletakan batu fondasi utama di Juventus dengan mengandalkan sistem khas Italia itu. Dengan atau tanpa pola tiga bek, catenaccio tetap berjalan optimal. Ketika pelatih lain tengah berimprovisasi menciptakan sistem terbaru, Conte dengan bijak memilih membangkitkan kembali sistem lawas tradisi Italia.
Hasilnya, Juventus berhasil di kembalikan sebagai tim digdaya yang menguasai seantero Italia dalam beberapa musim terakhir. Hal tersebut membuat pihak FIGC melantik Conte sebagai pelatih Italia di Piala Eropa 2014 lalu. Meskipun tidak juara kinerja Conte tetap mengesankan dengan menyulap tim dengan materi pemain alakadarnya menjadi ditakuti lawan.
Ada citra rasa baru yang dihadirkan timnas Italia di Piala Eropa lalu. Tangan dingin Conte mengubah pola pikir manusia seperti saya ini yang mendambakan setiap pertandingan dihujani banyak gol, menjadi berpikir ulang untuk lebih bijak, toh sepakbola bukan perkara mencetak gol saja. Pertahanan adalah kunci, merekalah yang menjadi orang terakhir dalam memutus serangan lawan, dan mereka pula lah yang menjadi orang pertama yang membangun serangan.
Di era Conte, catenaccio di permak menjadi permainan yang atraktif dengan sedikit bumbu gegen pressing. Sebuah sistem yang dulunya menjemukan kini telah menarik perhatian banyak orang. Lebih segar!