Lihat ke Halaman Asli

Penghapusan Subsidi BBM Untuk Indonesia Clean Energy: Sebuah Pendekatan Ekonomi

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pengembangan clean energy Indonesia yang menjadi proyek jangka panjang nampaknya harus menerima fakta bahwa cita-cita itu belum didukung dengan apa yang ada di susunan anggaran pemerintah saat ini. Padahal, dibutuhkan inovasi dalam pengembangan Clean Enregy sampai akhirnya bisa diterapkan dan diaplikasikan. Karena teknologi untuk menghasilkan clean energy secara masal inimembutuhkan teknologi baru dan relatif mahal.

Secara fiskal, pembelanjaan negara di bidang research and development (R & D) di Indonesia makin tidak mendapat tempat. Ini menjadi penghalang tumbuh layaknya sebagian besar negara berkembang Asia yang mengalami Innovation Deficit (Williamson, 2007). Defisit ini dilihat dari belanja pemerintah untuk R&D dibanding Pendapatan Nasional Bruto (PNB) yang pada 2009 hanya 0,08 %, bandingkan dengan negara maju Asia pada 2009 seperti Jepang (3,36%), China (1,70), Korea Selatan (3,56) dan “Si Tetangga” Singapura (2,43%).

Salah satu penyebab dominan menurut penulis adalah masih terlalu besarnya beban subsidi untuk BBM (yang merupakan bahan bakar fosil) pada 2012 lalu saja mencapai 364,4 triliun pada APBN sehingga salah satu opportunity cost nya adalah R & D spending. Padahal nilai subsidi BBM mengikuti fungsi Fuel subsidy= Quantity x (reference price-selling price). Artinya jika harga pasar naik, maka nilai subsidi juga naik. Padahal studi empiris membuktikan bahwa ketika jumlah subsidi BBM naik maka permintaan terhadap BBM akan naik pula (Nwachuku and Chike, 2011). Sehingga bisa dibayangkan ketika harga minyak dunia naik, maka artinya pengurasan fiskal untuk subsidi ini akan bertambah karena nilainya bertambah mahal dan permintaannya bertambah banyak.

Dengan adanya subsidi BBM insentif untuk memproduksi bahan bakar minyak masih tinggi sehingga perusahaan energi masih enggan memulai proyek clean energy di Indonesia karena memproduksi bahan bakar fosil dinilai keuntungannya lebih terjamin. Akibatnya perusahaan energi juga masih terus merekrut sumber dayamanusia dengan keahlian yang berhubungan dengan peminyakan.

Implikasinya adalah lapangan kerja di bidang perminyakan masih menjanjikan. Sehingga, para pelajar yang menghadapi trade off juga memilih program studi yang berhubungan dengan perminyakan karena insentifnya lebih besar. Akbatnya, generasi pembangun clean energy kehilangan sumber daya “kelas satu”nya. Juga, karena masih lebih terjaminya industri perminyakan maka lembaga finance pun jadi lebih prefer untuk lending di perminyakan karena Return of Investment lebih jelas. Sudah tidak banyak didukung pemerintah, kali ini Clean Energy Program pun tak banyak didukung swasta.

Dengan demikian, sudah selayaknya subsidi yang sekarang masih berkisar Rp. 3000-Rp.4000,/liter itusegera dihapuskan jika memang menginginkan Indonesia dengan clean energy. Ini mendesak karena dengan kondisi Indonesia saat ini studi menunjukan jika ada kenaikan 1 % konsumsi energi perkapita, meningkatkan 1,246% emisi karbon perkapita (Saboori, 2012). Tokh, 84% nilai subsidi itu dinikmati oleh 50% orang terkaya di Indonesia yang mempunyai kendaraan bermotor lebih banyak. Sehingga subsidi BBM sudah pasti bukanlah hal yang adil bagi rakyat berpenghasilan menengah ke bawah.

Perihal inflasi yang ditumbulkan karena penyesuaian harga BBM memang sudah menjadi konsekwensi karena permintaan terhadap barang pokok selalu inelastis pada jangka pendek (Mankiw, 2011). Namun, dalam jangka panjang permintaannya bisa elastis karena konsumen akan lebih beralih ke public transportation dan kendaraan berbahan bakar alternatif (boleh saja mencantumkan mimpi clean energy di premis ini).

Namun sebagaimana kita tahu; secara politis kebijakan penghapusan subsidi BBM merupakan kebijakan yang tidak populer. Tapi, dengan kondisi Indonesia yang sudah seperti ini, semoga di 10 Oktober 2014 nanti kita akan melantik presiden yang berani melakukannya. Sudah adakah yang terlihat berani diantara “para kandidat”? Wawlahu’alam.

Referensi

Williamson, Peter J. (2003), Winning in Asia: Strategies for Competing in New Millenium,Harvard Busnisess School Press: Boston

Business Monitor International (2013), Indonesia Petrochemical Report-Q4-2013, BMI:London

Pradiptyo, Rimawan, (2012). On The Compexity of Eliminating Fuel Subsidy in Indonesia; A Behavioral Approach, Gadjah Mada University: Yogyakarta. Jurnal tersedia di http://ssrn.com/abstract=2104997

Saboori, Bernaz (2012). An Empirical Analysis of The Environment Kuznetz Curve for C02 Emmision in Indonesia : The Role of Consumtion and Freign Trade. International Journal of Economics and Finance 4.2 (Feb. 2012): 243-251

[1] WorldBank.org

Worldbank, 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline