Ketika mendengar terkait dengan pariwisata halal, apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran kalian? Sesuatu yang serba Islami, sesuatu yang bergaya kearab-araban seperti pemisahan jalur laki-laki dan perempuan, berpakaian dengan menggunakan niqab?
Karena di Indonesia sepertinya isu seperti ini sangat sensitif, bukan karena konsep dari wisata halal itu sendiri melainkan dari kesalahpahaman tentang konsep dari wisata halal tersebut yang masih banyak belum dipahami seutuhnya.
Penerapan sistem dengan konsep wisata halal tentu sangat berbeda dengan penerapan hukum syariah, yang selama ini ditakutkan oleh beberapa kalangan di Indonesia.
Dengan isu intoleransi yang menyebar beberapa waktu terakhir, banyak salah paham tentang wisata halal sama dengan wisata syariah, padahal itu dua hal yang berbeda.
Dan penduduk Indonesia sudah terlebih dahulu paranoid ketimbang memahaminya terlebih dahulu.
Beberapa hari yang lalu, terjadi polemik terkait rencana penerapan konsep wisata halal di kawasan Danau Toba yang dilontarkan oleh Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi.
Rencana penerapan pariwisata halal di Danau Toba ini didukung oleh banyak pihak, tetapi tak sedikit juga juga menolak, terutama mereka yang bermukim di kawasan Danau Toba sejak lama.
Pada bulan Februari 2019 lalu, Gubernur Bali menolak konsep pariwisata halal yang diutarakan oleh Sandiaga Uno karena dinilai Bali sudah memiliki branding tersendiri yakni sebagai pariwisaya budaya yang sudah cukup kuat.
Jadi seperti apa konsep wisata halal itu sendiri? apakah sama dengan sistem syariah?
Konsep wisata halal sendiri sebenarnya bukan penerapan hukum Islam seperti yang terjadi di Aceh, tetapi konsep wisata yang cenderung ke Muslim and Family Friendly, artinya ramah dengan wisatawan Muslim. Dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan menjadi agama mayoritas, tentu hal ini sangat mudah diterapkan.