Lihat ke Halaman Asli

Inilah Substansi Kasus Saipul Jamil yang Belum Terekspose

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_134913" align="aligncenter" width="640" caption="Saipul Jamil berduka. (Foto dari okezone.com)"][/caption] Meski informasi mengenai kasus Saipul Jamil sudah cukup melimpah di infotainment dan media sosial, ada satu hal mendasar yang justru luput dari perhatian, yakni substansi kasus itu ditilik dari perspektif hukum. Mari kita mengupasnya di sini.

Selasa kemarin (13/9/2011), Saipul Jamil diperiksa Kepolisian Resor Purwakarta. Menurut sebuah situs, artis dangdut itu diperiksa selama lima jam dan dicecar 36 pertanyaan. Status Saipul Jamil masih sebagai saksi, bukan tersangka, dalam kasus kecelakaan di Tol Cipularang KM 97, Sabtu (4/9/2011), yang mengakibatkan istrinya, Virginia Anggraeni, meninggal dunia.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam beberapa waktu lalu menyatakan, Saipul Jamil terancam dipidana akibat kelalaiannya dalam mengemudi sehingga menyebabkan korban kecelakaan meninggal dunia. Saipul akan dijerat dengan menggunakan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Mengapa diproses secara pidana?

Sebelum mengulas pokok persoalan, mari kita mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar: Mengapa kasus kecelakaan ini diproses secara pidana? Bukankah yang meninggal dunia adalah istri Saipul Jamil sendiri?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi dapat kita peroleh dari Pasal 235 ayat (1) UU No. 22/2009 tentang LLAJ yang berbunyi:

Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Sengaja saya cetak tebal kata-kata “dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. Inilahhal baru yang mungkin belum banyak orang yang tahu.

UU LLAJ yang baru memang punya semangat besar untuk menghukum pelanggar seberat-beratnya, termasuk dengan hukuman pidana. Ini berbeda dengan UU LLAJ lama, yakni UU No. 14/1992.

Mari kita cermati bagaimana UU No. 14/1992 mengatur soal kecelakaan. Pasal 28 UU tersebut berbunyi:

Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor.

Dan Pasal 31 ayat (1) berbunyi:

Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman.

Jadi, berdasarkan UU LLAJ yang lama, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia tidak harus diproses secara pidana. Sebaliknya, berdasarkan UU LLAJ yang baru, kecelakaan demikian harus diproses secara pidana, tak peduli yang jadi korban kecelakaan adalah istri atau anak sendiri.

Bisakah lolos dari jerat UU?

Berikutnya, mari kita cermati Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009 yang dipakai polisi untuk menjerat Saipul Jamil. Pasal tersebut berbunyi:

Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Ayat (3) yang dimaksud di situ ialah Pasal 310 ayat (3) yang berbunyi:

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Sementara itu, Pasal 229 ayat (4) berbunyi:

Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Dan, Pasal 229 ayat (1) berbunyi:

Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

Perlu kita ketahui bahwa proses penyidikan, penuntutan dan persidangan perkara pidana pasti difokuskan pada unsur-unsur tindak pidana.

Nah, dalam kasus Saipul Jamil, unsur-unsur pidana yang terkandung dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009 adalah: (1) Setiap orang; (2) Mengemudikan kendaraan bermotor; (3) Karena lalai; dan (4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Sejauh ini, unsur pertama, kedua dan keempat sudah terbukti ada. Tinggal unsur ketiga yang belum terbukti. Melalui penyidikan, pihak polisi hendak membuktikan adanya unsur kelalaian itu.

Lantas, bisakah Saipul Jamil lolos dari jerat UU ini?

Jelas bisa, asalkan kecelakaan yang melibatkan Saipul Jamil itu memenuhi kriteria yang termuat dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009. Bunyi Pasal tersebut adalah:

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Dari penjelasan UU kita tahu, yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” ialah termasuk keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba.

Sedangkan yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah orang yang berada di luar kendaraan bermotor; atau instansi yang bertanggung jawab di bidang Jalan serta sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Perlukah ditahan?

Katakanlah kasus kecelakaan Saipul Jamil ini tidak memenuhi kriteria yang termuat dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009. Artinya, Saipul Jamil harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pertanyaan yang mungkin timbul: Ketika ditetapkan sebagai tersangka atau bahkan mungkin terdakwa, perlukah Saipul Jamil ditahan?

Kita gunakan Pasal 21 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) untuk menjawab pertanyaan tadi.

Sebagaimana kita ulas sebelumnya, Saipul Jamil akan dijerat dengan Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009. Ancaman hukuman maksimalnya ialah pidana penjara selama 6 tahun.

Secara objektif, sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, apabila tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun penjara atau lebih, maka penahanan dapat dilakukan.

Tetapi secara subjektif, sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan dapat dilakukan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekuatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana.

Lalu, bagaimana dengan Saipul Jamil seandainya dia ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa? Menurut saya, dia tidak perlu ditahan. Toh, sangat kecil kemungkinan untuk melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, apalagi mengulangi tindak pidana.

Bagaimana hakim memutuskan?

Sebagaimana kasus Prita Mulyasari, sesungguhnya kasus Saipul Jamil ini tergolong pelik. Disebut pelik lantaran dua kasus tadi sama-sama berkaitan dengan penerapan UU baru, yakni UU ITE dan UU LLAJ hasil revisi. Penegak hukum, apalagi masyarakat awam, belum tentu mengerti substansi dan sejarah UU baru itu.

Jika perkara Saipul Jamil ini bergulir sampai ke pengadilan, majelis hakim yang menyidangkan perkara ini akan dihadapkan pada problem klasik dalam filsafat hukum, yakni kepastian hukum vs keadilan.

UU, sebagai produk hukum yang mengusung filsafat positivisme, sesungguhnya dibuat serba pasti. Harapannya, kepastian ini akan melahirkan keadilan dan memperkecil diskriminasi. Tetapi harapan itu ternyata tak selalu terwujud.

Dalam kasus Saipul Jamil, majelis hakim pasti akan dihinggapi pertanyaan rumit: Haruskah demi kepastian hukum, seorang suami dihukum atas kematian istrinya sendiri?

Untuk memecahkan persoalan rumit ini, majelis hakim perlu menghayati kembali adagium “Hakim bukan corong Undang-Undang”. Dengan berbekal adagium ini, hakim tidak mesti tunduk pada bunyi UU.

Dengan demikian, dalam kasus Saipul Jamil, hakim dapat mengesampingkan bunyi Pasal 310 ayat (4) UU No. 22/2009. Ini dilakukan semata-mata demi keadilan, sebab kepastian hukum tidak otomatis menjamin terciptanya keadilan.

Nah, rampunglah pembahasan saya soal kasus Saipul Jamil ini. Kini giliran Saudara menuangkan gagasan. Sudah siap?

Artikel lainnya:

Wuih.... Angkernya Mahkamah Agung

Raden Roro Andy Nurvita, Kartini dari Dunia Hukum yang Bobrok

Mempertanyakan Ijazah Hakim MK yang Baru

Awas, Anda Bisa Jadi Tumbal UU Lalu Lintas




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline