Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Rasanya Bersuamikan Bule?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Pertanyaan itu beberapa kali datang padaku yang kebetulan suamiku berkebangsaan Belanda. Mana bisa aku jawab, mau dijawab apa? Enak? Tidak enak? Terus pertimbangannya apa?

Yang jelas bisa diceritakan adalah perbedaan budayanya yang kemudian bisa membedakan bagaimana rasanya bersuami bule itu. Saya gak akan menceritakan bahwa bersuami bule itu keren, sama sekali bukan itu. Apakah bersuami bule keren, belum tentu. Kalau kebetulan dapat yang keren, kalau dapat yang gak keren ya tetep saja gak keren.

Negara bule (Eropa) tidak mendukung patriaki

Masyarakat bule sudah sekitar 300-an tahun secara berangsur menjunjung kesetaraan. Antara laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kesetaraan ini dituangkan dalam undang-undang yang mengatur hak berpolitik, bekerja, dan system penggajian.


Dalam keluarga, antara anak laki-laki dan perempuan tidak lagi dibedakan bahwa laki-laki diberi kesempatan sekolah lebih tinggi sedang perempuan diarahkan ke pendidikan yang lebih mengurus rumah tangga.
Dalam kehidupan berumah tangga, pengaturan waktu kerja, mengasuh anak, mengurus rumah, dan masak dilakukan bersama-sama.


Perbedaan yang sangat menyolok dengan Indonesia misalnya ada tamu yang datang yang menyuguhi tamu dilakukan bersama (suami dan istri).


Jika saya pulang kampung bersama suami saya kadang dimarahi saudara-saudara karena saya kurang melayani suami, karena suami mengambil minumnya sendiri dari dapur. Itu kebiasaannya sejak kecil, di mana laki-laki dan perempuan menjalankan pekerjaan yang sama di rumah.

Negara bule rakyatnya dijamin negara
Negara bule umumnya mempunyai system jaminan sosial buat orang sakit, orang cacat, orang tua, dan orang yang dipecat dari pekerjaannya. Sehingga orang-orang ini tidak lagi menjadi beban keluarga, semua akan diurus oleh bagian sosial pemerintah. Karena itu sumbangan rame-rame anak buat orang tuanya tidak ada, jika ada orang sakit tidak ada saweran sumbangan, dan orang cacat mendapatkan santunan serta tinggal di rumah-rumah penyantunan. Anak sekolah juga dibiayai Negara.

Kesulitannya bila menikah dengan bule yang tidak memahami perbedaan ini dengan situasi di Indonesia, maka akan terjadi cekcok dalam rumah tangga. Saya kadang mendengar keluhan-keluhan suami-suami bule itu bahwa istri Indonesianya selalu ngirim uang untuk hidup orang tuanya, biaya sekolah saudaranya, menyumbang yang kawinan atau kematian.

Di Negara bule orang kawin tidak ramai-ramai

Di Negara bule orang kawin diurus-urus sendiri oleh yang kawin. Seringkali orang tua tidak lagi ikut campur dalam urusan ini. Anaknya mau kawin di gereja/mesjid/viara atau hanya dicatatkan di kantor pemerintah daerah, atau bahkan hanya berstatus samen wonen, orang tua tidak lagi ikut campur dalam hal ini. Bahkan urusan melamar tidak lagi dilakukan antar keluarga. Cukup mereka berdua berniat menikah, melamar dilakukan oleh lelaki kepada pacarnya. Sekarang sudah mulai yang melamar yang perempuan.


Acara selanjutnya adalah memberitahu kepada orang tua bahwa mereka bertunangan. Sesama orang tua saling berkenalan. Tidak ada seserahan dari laki-laki ke perempuan yang menunjukkan system sosial patriaki.


Begitu sederhananya sebuah acara perkawinan, biasanya hanya dihadiri oleh kerabat sangat dekat.
Nah bedanya dengan budaya kita dimana perempuan harus dilamar  laki-laki dan keluarganya, ada seserahan dan mas kawin. Lalu biaya pesta pernikahan. Jelas ini bisa membingungkan keluarga si bule. Seringkali keheranan muncul dengan kata-kata: kok mahal amat cuma mau kawin sama perempuan Indonesia. Si bule juga sering kebingungan sendiri. Apalagi biaya perkawinan harus ditanggung sendiri oleh laki-laki bule itu, bukan saweran sakeluarga luas.

Negara bule berpasport satu

Negara-negara Eropa memberlakukan satu pasport. Karena itu sering terjadi sengketa anak saat terjadi perceraian. Indonesia sekarang memberlakukan 2 pasport untuk anak sampai usia 18 tahun, setelah itu si anak boleh memilih ingin menjadi warga Negara mana. Sehingga sengketa anak yang biasanya secara otomatis berpasport bapaknya yg berwarganegara Negara-negara di Eropa bisa dihindari.


Antara yang mempunyai passport hijau (Indonesia) dan passport Negara Eropa, hak-hak sosialnya tidak dibedakan. Ia mendapatkan subsidi pemerintah untuk kesehatan, mendapatkan jaminan hari tua, dan mendapatkan jaminan sosial. Jadi banyak sekali perempuan yang menikah dengan warganegara Belanda misalnya, masih tetap memegang passport Indonesia.


Sekarang kalau suami dipecat dari pekerjaan karena sakit misalnya, dan hanya ingin hidup dari jaminan pemerintah? Tidak bisa, istri harus menggantikan posisi suami sebagai pencari nafkah. Kecuali suami sudah pensiun, bisa hidup dengan uang pensiun.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline