Lihat ke Halaman Asli

Hamparan Hijau Itu Kan Pergi

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1310714068540046010

[caption id="attachment_119499" align="aligncenter" width="576" caption="Persawahan Depan Rumah"][/caption]

Aku biasa duduk disana, menatap kegalauan langit yang perlahan melepas peluk mesranya pada senja. Aku biasa duduk disana, beralas rumput liar yang tumbuh di sepanjang pematang, di antara hamparan hijau nan luas itu. Aku biasa duduk disana, mendengar nyanyian gembira hewan-hewan malam, aku seakan diajak menari oleh mereka. Aku biasa duduk disana, menegadah ke kubah langit gelap, memandangi gemerlap bintang. Aku biasa duduk disana, hanya sendiri, mencoba terlepas dari hiruk pikuk dunia kusam.

Ya, begitulah sedikit deskripsi disana, salah satu tempat terbaik yang pernah ku jamah. Apalagi hanya cukup melangkahkan kaki beberapa dari rumahku, aku pun bisa menjamahnya, sawah perdesaan.

Kamu tahu? Ahh, anggaplah kamu tak tahu, agar aku bisa meneruskan ceritaku tentang hamparan hijau itu.

Jadi, disana begitu sunyi dan gelap waktu malam. Cukup sedikit nyali dan kamu pun akan mendapati apa yang sering ditulis pujangga dalam tiap sajaknya, bintang. Tapi bukan hanya ribuan bintang disana, juga Bulan, piringan galaksi Bimasakti dan beberapa meteor pun akan jelas terlihat disana. Tentu saja, itu semua hanya berlaku jika langit tak murung.

Bukan hanya itu, kesan yang kan kamu rasakan pun begitu khas. Duduk beralas rumput liar, diiringi orkestra alam oleh hewan malam, kunang-kunag yang menari-nari dan entah apa lagi. Bagai surga kecil mungkin, begitu tentram dan damai.

Dan satu lagi yang sangat berkesan, jika hatimu sedang gundah, kamu mungkin kan merasa lebih baik disana. Ya itu menurutku, karena tiap aku kesana sendiri, aku seakan mendengar apa yang hatiku ingin katakan padaku. Tapi bagaimana jika berdua, bertiga atau lebih banyak orang? Entahlah, jika mereka saling bersahabat, momen ini ku yakin tak kan terlupakan. Ya, sepertinya begitu.

Namun tunggu, jangan lah kamu pergi dulu, karena ku masih ingin sedikit membagi kerisauanku padamu. Mungkin cerita akan hamparan hijau itu akan segera berakhir, bahkan mungkin hanya kan jadi penghuni kecil kenanganku. Kenapa?

Jawabanya sederhana. Beberapa hari lalu, di salah satu sudut hamparan hijau itu, aku tak dapati ada setangkai pun padi tumbuh disana. Entah mengapa. Dan kini aku baru tahu, bahwa akan di bangun rumah atau mungkin perumahan disana.

Argh, kamu dengar itu? Kamu tau apa artinya? Ya, tak lama lagi hamparan hijau itu kan berubah jadi hamparan tembok beton. Dalam waktu beberapa bulan mungkin tahun, lampu-lampu perumahan kan memporak porandakan langit berbintang. Pondasi-pondasi perumahan kan menghujam jauh ke tanah, melenyapkan rumput liar dan hewan-hewan malam. Kebisingan kan memenuhi rongga telinga.

Ya aku tahu, ini bukan salah siapa pun. Ini tuntutan zaman. Mungkin sektor pertanian tak lagi memberi jaminan akan masa depan para petani. Mungkin para perencana pembangunan sudah kesal mendengar rengekan anaknya yang minta dibelikan susu. Mungkin, isu global warming tak sempat terdengar oleh mereka. Mungkin, argh, aku tak tahu lagi apa.

Sudahlah, aku tak tahu apa yang kan terjadi. Yang pasti aku kan merindu hamparan hijau itu.

Mojokerto, 15 Juli 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline