Lihat ke Halaman Asli

Giens

freelancer

Petisi (Hanya) Berdasarkan Asumsi, Bukti Kegagalan Membedakan Fakta dan Opini?

Diperbarui: 13 Februari 2024   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kondisi politik makin memanas jelang pilpres. Hasil survei diamini hanya kalau sesuai harapan kubu sendiri. Berbagai opini berseliweran. Sebagian besar berisi penafsiran subjektif atas berbagai fakta yang ada; fakta yang jika ditafsirkan secara objektif bisa saja justru bermakna sebaliknya.

Menafsirkan fakta berdasarkan prasangka alias asumsi untuk memojokkan suatu pihak supaya terlihat pantas di-bully, inilah yang banyak terjadi belakangan ini.

Di medis sosial (eg: twitter atau X) banyak berseliweran hoax yang ada saja penikmatnya. Penikmat hoax bukan hanya dari kalangan tak terdidik atau berpendidikan rendah; kalangan berpendidikan tinggi, pengajar, bahkan pengajar level tertinggi tak luput dari tipuan hoax. Sebagian akhirnya sadar dan malu lalu menghapus pernyataan yang berafiliasi dengan hoax, sebagian lagi pura-pura tidak tahu lalu menunggu hoax lain untuk disebarkan.

Hoax itu bukan sekadar berita tidak benar atau tidak logis. Hoax itu banyak variannya. Yang paling masif adalah penggiringan opini berbasis asumsi, tapi asumsinya itu diklaim sebagai fakta. Yang membaca (orang tak pintar maupun orang yang merasa pintar) biasanya tidak ma(mp)u berpikir kritis kalau isi beritanya sudah sesuai kata hatinya. Langsung diyakini dan disebarkan. Mereka pun tak sadar meyakini opini orang sebagai fakta. Celakanya, opini yang diklaim atau diyakini sebagai fakta atau bukti itu sering digunakan untuk menghakimi orang secara tidak beretika, secara tidak beradab.

Dua puluhan tahun lalu, dalam sebuah draft kurikulum bertajuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004) saya pernah menemukan klausul "mampu membedakan fakta dan opini" dalam salah satu indikator keberhasilan pembelajaran. Draft tersebut itu juga memulai dimasukannya pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam kurikulum SMP dan SMA. Dengan adanya materi pemrograman di tingkat SMA, saya optimis para siswa akan terasah logikanya secara benar dan sportif.

Sayangnya, KBK hanya berusia singkat. Pada tahun 2006 muncul kurikulum baru bertajuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum pengganti ini berbagai muatan berbasis kompetensi "diturunkan" standarnya menyesuaikan kondisi anak didik dan tentu saja gurunya. KTSP pun kemudian berubah lagi menjadi Kurikulum 2013 dan diubah lagi menjadi Kurikulum Merdeka.

Ingatan saya tentang kurikulum KBK 2004 itu begitu saja terlintas di pikiran saya melihat kondisi per-logika-an yang dimunculkan para petinggi nalar di negeri ini. Jika membedakan antara fakta dan opini saja gagal, sepertinya kurikulum sekolah perlu beralih kembali ke Kurikulum Berbasis Kompetensi di mana kompetensi alias kecakapan berpikir anak didik ditekankan sebagai indikator keberhasilan pembelajaran. Karena berpikir itu juga ada ilmu dan etikanya. Karena sesat pikir bisa menghinggapi siapa saja: anak sekolah, masyarakat umum, guru kecil, guru silat, maupun guru filsafat; apalagi yang sedang marah karena termakan hoax.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline