Lihat ke Halaman Asli

Giens

freelancer

Andai Gibran Gagal Jadi Wali Kota

Diperbarui: 15 Februari 2021   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Martabak manis (pixabay)

Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo bisa disebut baru seumur jagung jadi anggota partai politik. Langsung dicalonkan jadi calon walikota di Pilkada 2020. Meski dengan drama tarik ulur. Biasa.

Kebetulan Gibran dan pasangannya menang. Kita tinggal saksikan apakah ia mampu membedakan antara keharusan menjaga martabat sebagai pengayom masyarakat dan kewajiban menjaga martabak, bisnis pribadinya.

Diakui atau tidak, nama ayahnya yang Presiden RI dan juga tokoh partai berperan dalam kemenangannya. Ada sinyalemen bahwa Gibran sengaja memanfaatkan momen berkuasanya sang ayah, Joko Widodo alias Jokowi,  untuk ikut menjadi penguasa. Tudingan politik dinasti pun mengemuka. Beberapa pihak mencoba meramaikannya.

Sekali lagi, kebetulan Gibran menang. Mungkin karena parpol pendukungnya tidak langsung berhadapan dengan Partai Demokrat, partai yang (katanya) sangat anti dengan politik dinasti itu. Kalau berhadapan langsung dengan Partai Demokrat, bisa lain ceritanya.

Apa pun itu, faktanya Gibran menang. Konsekuensinya, kebijakan politik Jokowi pun makin di-"dinasti-dinasti"-kan. Padahal, politik dinasti erat hubungannya dengan (kejahatan) nepotisme, satu bentuk kejahatan yang menurut amanat reformasi wajib dihindari selain korupsi dan kolusi dan sebangsanya.

Namun, andai Gibran kalah dalam pilkada dan gagal jadi walikota, apakah Presiden Jokowi lepas dari tudingan menganut politik dinasti? Sepertinya tidak juga.

Jika kalah pilkada, Gibran bisa saja ditarik jadi pejabat teras partai meski dengan jabatan di luar pakem kepengurusan. Komando Satuan Tugas Martabak, misalnya. Tugas utamanya menggalang dana dari dan untuk para pengusaha martabak simpatisan partai. Untungnya (cuma) martabak, pake "k" bukan "t". 

Jadi, tidak ada hubungannya dengan pidato-pidatoan pencitraan yang ibaratnya "omong doang buat ditepukin orang". Mas Gibran sepertinya masih kurang fasih berpidato untuk mendulang tepukan orang, terutama tepukan dari para remaja putri dan ibu-ibu arisan. Apakah ini berarti baginya timpukan malah lebih memungkinkan? Nggak, lah. Jangan keterlaluan!

Pemberian jabatan tinggi di kepengurusan partai pada Gibran si anggota baru ini tentu berpotensi menimbulkan masalah. Para politikus senior partai yang sebenarnya ngantre untuk diberi jabatan tinggi terpaksa gigit jari atau banting peci. Karena praktik penyusunan kepengurusan yang terkesan "maksa" itu mengakibatkan mereka tak kebagian jabatan. 

Padahal, andai diberi jabatan aneh-aneh pun mereka sebenarnya mau. Pemandu sorak pilkada, pengintip survei partai tetangga, instruktur aerobik khusus simpatisan golongan ibu-ibu arisan dan perempuan remaja, divisi telematika -- panci-- dan parabola,  atau divisi ngeles tralala; apapun itu asalkan jabatan teras di kepengurusan pusat, gak masalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline