Lihat ke Halaman Asli

Giens

freelancer

Fatsun Politik Bertajuk "Matur Nuwun atas Pandomblemu"

Diperbarui: 5 November 2020   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pexels.com/abiezerosix

Ada sebuah peristiwa unik di kota Yogya medio 90-an yang masih saya ingat. Teman saya, Supri, diledek habis-habisan oleh Supra alias "Si Pras" yang juga teman saya.

Anehnya, yang diledek terlihat tenang-tenang saja, senyum-senyum, sambil berkali-kali mengangguk santun dan mengucap "matuuur nuwuuun..", itu ungkapan terima kasih dalam bahasa Jawa.

Saya pikir itu cerminan akhlak terpuji. Diledek, diejek, malah senyum dan berterima kasih. Mungkin berusaha meneladani akhlak Nabi. Karena berdasarkan berbagai tausiah, Nabi itu diejek tidak marah, malah yang mengejeknya diberi hadiah. Teman saya si Supri itu "hanya" berterima kasih; tanpa memberi hadiah.

Pada adegan Supri dan Supra dulu itu, konteksnya memang bercanda. Dan di akhir percakapan itu Supri melengkapi kalimatnya hingga menjadi "Nggih, matur nuwun atas pandomblemu". (nDomble = nDower) Kala itu saya hanya tertawa saja karena merasa terhibur olehnya. Tak mengira bahwa adegan itu merupakan petunjuk untuk memaknai peristiwa politik di masa depan yang baru saja terjadi di negeri ini.

Beberapa waktu lalu terjadi polemik kecil di saat pemerintah atau negara Indonesia memberikan bintang jasa Mahaputra Nararya pada dua "tokoh" politik yang selama ini (oleh sebagian masyarakat) dianggap selalu "sinis" pada (kebijakan) pemerintahan Jokowi.

Sebagian masyarakat menyayangkan kebijakan pemerintah dan berpendapat bahwa penghargaan tersebut tidak relevan. Sementara itu, pemerintah bergeming dengan keputusannya dengan alasan sudah melakukan kajian mendalam. Bahkan, kebijakan pemberian penghargaan serupa diulangi lagi pada tokoh "senada" yang lainnya.

Di era demokrasi semua orang bebas berpendapat. Semua bebas ikut berpolemik. Tetapi perdebatan yang tidak berkesudahan hanya akan menguras tenaga dan pikiran. Tidak setuju dengan kebijakan negara dalam memberikan penghargaan tanda jasa pada tokoh-tokoh yang justru (dianggap) sering melecehkan pemerintah sebagai representasinya pun boleh-boleh saja. Akan tetapi, menjadikannya ganjalan untuk berlama-lama kecewa bukanlah hal bijaksana.

Pengalaman empiris yang saya paparkan di awal tulisan bisa dijadikan alternatif pemahaman. Bahwa kita tidak hanya boleh berterima kasih pada pihak yang membantu atau menyenangkan kita saja. Pada pihak yang selalu apriori dan sinis pada kita pun kita boleh berterima kasih. Bahkan, kalau kita kebetulan berada di posisi pemerintah, kita boleh memberinya penghargaan dalam bentuk bintang jasa. Bebas saja. Demokratis.

So, jika kita tidak setuju dengan pemberian bintang jasa pada pihak-pihak yang selalu apriori pada pemerintah, kita dapat memaknainya sebagai penghargaan bergenre MANTAP. Ini memang singkatan. Kepanjangannya adalah "MAtur Nuwun aTAs Pandomblemu". Anggap saja produk kearifan lokal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline