Kertanegara adalah raja terakhir Kerajaan Singasari. Ia kalah perang melawan Joyokatwang Adipati Gelang-Gelang. Kartanegara terbunuh di istananya sendiri. Dengan kepala tegak. Karena ia diceritakan tidak mau menyerah. Ia gugur sebagai penguasa Singasari, bukan sebagai raja yang takluk. Begitulah deskripsi dalam sebuah tontonan kethoprak berjudul "Singosari Gumingsir" di layar televisi produksi TVRI (Yogyakarta) puluhan tahun silam.
Tidak ada adegan pembunuhan Kertanegara dalam tontonan itu. Adegan terakhirnya hanya orasi heroik Kertanegara yang tetap mendeklarasikan diri sebagai Raja Singasari. Meski ia dalam keadaan terkepung dan sebilah keris ligan di tangan musuh menempel di perutnya. Trutuk..tuk.. tuk, bunyi khas instrumen pengiring kethoprak pun mengakhiri acara. Saya masih kecil kala itu, tapi saya bisa mengingat.
Militeristik
Ada sebuah pertanyaan besar, terutama setelah saya bertambah besar dan belajar. Mengapa Kerajaan Singasari yang besar itu bisa tumbang oleh serangan pasukan sekelas kadipaten? Alternatif jawaban yang membuat kita tercengang adalah: karena Singasari sedang ditinggalkan oleh sebagian besar pasukannya dalam rangka ekspedisi militer ke Sumatera. Ekspedisi militer itu oleh para sejarawan dinamai Ekspedisi Pamalayu (1275 - ).
Dengan dalih membendung kekuatan asing (Mongol) di Malaka, Kertanegara memberangkatkan ribuan pasukannya ke Sumatera. Namanya ekspedisi militer, tak jauh dari acara penaklukan dan penguasaan daerah-daerah yang dilalui. Kertanegara terlalu fokus pada kekuatan militer dan sangat khawatir pada ancaman musuh dari luar hingga melupakan potensi musuh dari dalam. Mungkin ia menganggap segala pembangkangan domestik cukup diselesaikan dengan mengandalkan kharismanya seorang. Ia salah. Dan kalah.
Reinkarnasi
Ada peristiwa yang menyebabkan beberapa pihak memvonis Kertanegara bertemperamen tinggi (pemarah -- pen). Peristiwanya bermula dari kedatangan utusan Kubilai Khan dari kekaisaran Mongol ke Singasari untuk meminta pengakuan kekuasaan (sekaligus upeti tanda takluk). Tentu saja ini serasa hinaan bagi seorang raja yang berdaulat. Oleh karenanya Kertanegara menolak-mentah-mentah. Akan tetapi tak cukup dengan itu, Kertanegara juga melukai si utusan Mongol dan bahkan diceritakan memotong daun telinganya. Apapun alasannya, melukai seorang utusan tidaklah bijaksana. Tapi Kertanegara melakukannya. Mungkin didorong oleh jiwa patriotismenya yang meledak-ledak.
Sejarah mencatat pula bahwa beberapa abad kemudian, Kertanegara mendapat balasannya. Bukan sebagai Kertanegara, tetapi "reinkarnasinya", seorang yang juga gagah perkasa bernama Ario Penangsang, adipati Jipang.
Sebelum berperang dengan pihak Joko Tingkir dari Pajang, seorang pekathik (pengurus kuda) Ario Penangsang dipotong daun telinganya oleh prajurit Pajang. Pada pekathik yang kesakitan itu si prajurit Pajang menitipkan surat tantangan perang untuk Ario Penangsang. Tentu saja Ario Penangsang marah bukan kepalang dikirimi surat tantangan dengan cara seperti itu. Tanpa pikir panjang ia segera mengerahkan pasukannya untuk berperang. Ia termakan provokasi, bertindak kurang perhitungan, dan akhirnya kalah.
Memang, tak banyak yang membahas kaitan antara aksi potong telinga oleh Kertanegara dan aksi "balasan" yang diterima Ario Penangsang yang dialami oleh pekathik-nya. Kesamaan kejadian dianggap kebetulan biasa, seperti disclaimer di sinetron-sinetron yang sering ditayangkan. Padahal, di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Apalagi dalam diskusi sekelas obrolan yang cuma ilmiah-ilmiahan.