Lihat ke Halaman Asli

Giens

freelancer

Puisi "Jahil" Taufik Ismail

Diperbarui: 26 Januari 2017   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sastrawan Taufik Ismail hadir di luar halaman gedung tempat berlangsungnya sidang ketujuh kasus Ahok – Selasa 24 Januari 2017. Dari atas mobil komando Taufik Ismail berorasi dan membacakan puisinya di hadapan massa Anti-Ahok. Berdasarkan atributnya, massa tersebut terdiri atas massa FPI dan Parmusi.

Lepas dari isi orasi beliau yang mendukung keinginan massa di sekitarnya, puisi yang dibacanya seakan sengaja disisipi pesan "rahasia" yang bermakna sebaliknya.

Dalam kesempatan itu Taufik Ismail membacakan dua puisi. Puisi pertamanya yang berjudul 'Di Laut Mana Tenggelamnya' menyiratkan penyesalan atas hilangnya berbagai nilai kebaikan universal di zaman ini. Puisi keduanya yang berjudul 'Perang Ini Harus Kita Menangkan' kurang lebih mempertanyakan keberadaan orang-orang yang masih memiliki nilai-nilai kebaikan universal (yang dikatakannya hilang) dalam puisi pertama.

Puisi pertama bersifat netral, lebih mengesankan curahan hati semua orang (baik/waras). Tetapi puisi keduanya punya tendensi. Berikut ini saya kutip dua baris awalnya

Masih adakah orang jujur di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka tak bersuara.

Mengingat puisi itu dibacakan di tengah-tengah massa yang lantang bersuara dan diperhitungkan pengaruhnya (buktinya banyak polisi yang berjaga-jaga), maka yang dimaksud orang jujur oleh puisi tersebut BUKAN orang-orang/massa di bawah mobil komando tempat berdiri Taufik Ismail, melainkan orang-orang/pihak lain yang saat ini sedang tidak "bersuara".

Apakah itu berarti Taufik Ismail terindikasi melecehkan massa FPI (dan Parmusi) dengan mengisyaratkan bahwa yang dianggap jujur justru pihak di luar mereka? Mestinya tidak.

Sebagai karya sastra, sekali puisi dibaca atau dipublikasikan, maka pemaknaan atau penafsirannya sudah menjadi domain publik; lepas dari pembuatnya. Jadi terserah masyarakat untuk menafsirkan maksudnya. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah: apakah massa di sekitar area pembacaan puisi tersebut mampu memahami bahasa sastra atau tidak, memahami tendensi sebuah karya sastra atau tidak.

Membaca berita puisi Taufik Ismail di tengah massa anti-Ahok dari tautan yang dibagikan seorang teman medsos yang terindikasi jelas anti-Ahok dan simpatisan FPI membuat saya tergelak. Karena saya seakan disuguhi versi alternatif dari cerita Ahok di Kepulauan Seribu yang berujung pada dugaan penistaan agama itu. Karena orang-orang di sekitar Ahok justru bertepuk tangan memberikan apresiasi atas pidatonya, tapi orang-orang di berbagai tempat lainnya justru menafsirkannya secara berlawanan. Kalau kemudian yang tidak protes atas ceramah Ahok dianggap kurang beriman dan kurang paham kitab suci, bolehkah massa yang tidak protes saat mendengar puisi Taufik Ismail kemarin dikategorikan kurang paham sastra, kurang mampu menafsirkan kata-kata yang tertata sedikit rumit? Perlu dibuktikan.

Tapi, memangnya kenapa kalau kurang paham sastra?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline