Ingat pernah nonton tayangan Benang Merah TV One yang mengangkat tema "Intrik Dukun Politik" edisi 10 November 2016, saya jadi berpikir tentang sebuah kebetulan di pilkada DKI Jakarta. Kemungkinan besar memang akibat nasihat dukun politik. Karena menurut seorang narasumber yang identitasnya disamarkan dalam acara itu, ternyata perdukunan politik memang marak saat pilkada dan "semua" pihak pernah jadi klien-nya.
Yang saya maksudkan sebagai kebetulan dalam pilkada DKI Jakarta adalah kesamaan "nama" para calon gubernurnya. Saya menduga kuat bahwa sebelumnya semua pihak pengusung bakal calon gubernur DKI telah berkonsultasi dengan para dukun politik.
Yang saya tahu, para spiritualis sejati (dukun putih) tidak akan berani menyampaikan "informasi ilahiah" yang berhasil diintipnya secara nyata/lugas pada orang lain. Orang Jawa bilang bisa kualat karena ndhisiki kersa (mendahului kehendak-Nya). Para spiritualis sejati biasanya hanya bersedia menyebutkan ciri-ciri atau tanda-tandanya.
Inisial "A" dan 4 huruf saja
Saat berkonsultasi dengan para dukun politik, para pengusung calon mendapat informasi yang (kebetulan) sama bahwa gubernur DKI nanti yang jadi adalah yang berinisial "A" dan namanya terdiri atas 4 huruf. Maka mantap-lah PDIP dkk mengusung Ahok, sementara Gerindra dan PKS yang semula mengusung Sandiaga Uno akhirnya banting stir meminang Anis Baswedan. Sebenarnya Sandiaga Uno bisa saja diakui sebagai Andi (s-ANDI-aga), tetapi itu jelas bukan nama panggilan resminya. Nama "Anis" lebih diakui dan meyakinkan sebagai yang berinisial "A" dan 4 huruf jumlahnya. Maka posisi cagub pun direlakan pada Anis. Bagaimana dengan poros Cikeas?
Kesukaan Pak SBY pemimpin poros Cikeas dengan hal yang berbau klenik sepertinya sudah pernah diketahui publik. Dari keyakinan pada berkah angka 9 hingga beberapa kalimat pernyataan di bukunya yang terkenal mengindikasikan hal tersebut. Pak SBY pun pastinya sudah mendapat informasi soal profil gubernur DKI yang bakal jadi nanti. Oleh karena jika bergabung dengan Gerindra dan PKS dirasa kurang berwibawa, maka beliau dan partai-partai koalisinya berniat mengusung sendiri calon gubernurnya.
Jadi, bagi poros Cikeas, khususnya Partai Demokrat, penjaringan calon lewat jalur konvensi lagi-lagi sekadar basa-basi audisi. Se-kredibel dan se-takwa apapun kalau namanya tidak memenuhi syarat perklenikan tidak akan dipertimbangkan.
Partai Demokrat sebenarnya pernah memiliki banyak kader yang memenuhi syarat nama itu. Ada Andi (Malarangeng), ada Anas (Urbaningrum), ada Andi (Nurpati), ada Amir (Syarifuddin). Namun dari semuanya itu tidak ada yang dipertimbangkan masuk kriteria oleh SBY. Memang yang dua di awal itu sudah tidak mungkin dan pastinya sudah bukan kader Demokrat lagi, sedangkan dua sisanya tidak masuk radar dan bahan analisa.
Kesannya SBY memang dipasrahi oleh partai-partai pendukung koalisi untuk menentukan "sendiri" calon gubernur yang akan diusung bersama. Jadi, SBY sebenarnya punya kapasitas untuk mengusung Ibas, tetapi itu tidak dilakukan.
Banyak yang salah sangka menganggap Ibas tidak dicalonkan karena SBY mempertimbangkan kompetensi dan potensi masalah yang akan membelit Ibas. Padahal tidak begitu. Ibas tidak dipilih karena inisialnya bukan "A", meski nama panggilan resminya 4 huruf jumlahnya. Karena kalau dipaksakan depannya "A", jadinya malah "Abis". Maka dipilihlah Agus.
Mungkin banyak yang penasaran, mengapa tidak tanya sekalian pada dukunnya, apakah gubernurnya nanti muslim atau nonmuslim supaya lebih jelas. Hal ini tidak dimungkinkan. Karena informasi ilahiah berada di lapisan nonfisik di mana atribut keduniawian yang bisa terdeteksi dari seseorang hanya nama atau sebutannya saja.