Membaca kembali status-status Facebook sekian tahun lalu, saya kembali terinspirasi dengan prinsip berbagi. Sebagai salah satu media sosial dengan jutaan pengguna, Facebook memungkinkan penggunanya untuk berbagi berita maupun cerita apa saja. Sebagai pengguna media sosial tersebut, saya pernah mengalami atau menjumpai berbagai genre postingan, baik genre gembira, sedih, netral, marah, maupun murka; baik berjenis berita, cerita, curhat belaka, maupun doa-doa.
Media Sosial BUKAN Media Transcedental
Namanya media sosial, cocoknya memang untuk bersosialisasi antarmanusia, untuk berdiskusi maupun sekadar berwawancara. Sebuah status atau pernyataan di dinding Facebook umumnya berupa hal yang ingin dibagikan kepada segenap teman di dunia maya. Sekali dibagikan, sebuah status Facebook berpotensi untuk abadi di dunia maya. Oleh karenanya, seorang pemilik akun harusnya berpikir dulu sebelum menulis dan membagikan statusnya.
Media sosial juga berpotensi mengaburkan esensi doa. Bukan lagi ditujukan pada Sang Pencipta, tetapi kepada teman-teman di dunia maya. Maka tujuan akhirnya bukan lagi terkabulnya doa itu, melainkan banyaknya tombol suka dan populasi komentar "aamiin" yang menyertainya.
Mengumumkan Kekhilafan
Para pengguna Facebook toh manusia juga. Sesekali bisa khilaf dan melakukan hal alpa. Kadang khilaf sendirian, kadang kolektif bersama teman-teman. Kadang khilaf saat membagikan status yang berupa opini pribadi, kadang khilaf saat membagikan status berisi ide-ide teman atau orang lain. Karena berbagi melalui Facebook itu sedemikian mudahnya, tidak mengharuskan kita untuk berpikir lama. Sesekali khilaf wajar saja, asalkan tidak disengaja.
Berbagi demi Eksistensi
Kita bisa berbagi informasi maupun inspirasi untuk menunjukkan eksistensi kita di Facebook. Dan inspirasi itu tidak harus/perlu kita tulis sendiri. Kita juga tidak harus membacanya dan meresapi setiap tulisan yang akan kita bagi.
Di Facebook, untuk membagikan sebuah artikel karya orang lain cukup dengan klik tombol "Share" atau tombol "Bagikan". Maka teman-teman kita di Facebook akan dapat mengaksesnya. Tapi bukan hanya tombol itu. Ada tombol lain yang merupakan tombol pseudo-Share, yaitu tombol "Like" atau tombol "Suka". Meski tanpa niat untuk berbagi artikel/informasi, dengan klik tombol "Like" pada prinsipnya kita sudah membagi artikel tersebut pada teman-teman kita.
So, apakah eksistensi kita di Facebook bisa ditegaskan hanya dengan klik saja tanpa berpikir? Mungkin hampir semua pengguna Facebook akan menyangkalnya. Karena pastinya "klik" itu juga diklaim dilakukan setelah berpikir. Dengan demikian, semboyan filsuf Rene Descartes "Cogito ergo sum" atau "aku berpikir maka aku ada" (I think, therefore I am) termodifikasi semaunya menjadi "cogito ergo klik".
Memang semboyannya seperti ujian nasional online, mikir dulu jawabannya apa, baru ngeklik pilihannya. Hanya saja kalau peserta ujian nasional online ngeklik jawaban yang salah, yang salah adalah siswa tersebut. Tapi kalau pengguna facebook ngeklik tombol Share pada artikel yang "salah" atau isinya berita bohong (hoax), pengguna facebook itu tidak mau disalahkan; yang disalahkan adalah pembuat artikel aslinya. Ya nggak, jon?
Ah, apapun itu, saya lebih suka "cogito ergo ngetik".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H