[caption caption="Pilih yang ada badaknya. (©pixabay.com)"][/caption]Jika diamati dengan jeli, dalam berbagai pilkada tingkat 1, peminat gubernur hampir selalu lebih banyak daripada peminat untuk jadi wakil gubernur. Wajar, toh jumlah ban serep tak pernah lebih banyak daripada ban utamanya. Masalahnya, kepala daerah dipilih secara paket. Pihak pengusung biasanya menentukan dulu siapa calon gubernur yang hendak diusung, baru mencarikan "ban serep" yang cocok; baik cocok hokinya maupun cocok maharnya.
Kesan kurang-pentingnya kedudukan seorang calon wakil gubernur sepertinya terbawa juga setelah terpilih dan dilantik. Hal ini ditandai secara resmi dengan jauh lebih kecilnya gaji wakil gubernur dibandingkan pejabat yang sesekali diwakilinya.
Memang kasihan sekali para wakil gubernur itu. Jika pembangunan berhasil, biasanya hanya nama gubernurnya yang semerbak mewangi ke sana kemari. Apesnya, jika pembangunan tak sesuai harapan, biasanya wakil gubernur ikut divonis bersalah karena tak mampu memberi bantuan dan masukan berkualitas pada gubernurnya. Cukup tragis memang.
Wakil gubernur sebuah provinsi di ujung barat pulau Jawa merupakan contoh fenomena nyata. Citra kesalehannya meski hanya dalam sandiwara alias sinetron layar kaca dianggap mampu memikat rakyat untuk memilihnya. Aktor memang profesinya semula. Apapun alasannya, faktanya ia berhasil terpilih dan menjadi wakil gubernur dengan segala dinamikanya. Mungkin itu sebuah pilihan yang sulit baginya. Terutama dilihat dari sisi pendapatan materi yang masih jauh dari kemungkinan membuatnya sejahtera. Terbukti ia terpaksa masih tetap menerima job-job komersial dari pihak luar dalam kapasitasnya yang masih sebagai wakil gubernur demi kelangsungan hidupnya. Dari iklan makanan rakyat yang biasa disebut "sosis", kopi, hingga minuman penyegar bersimbolkan binatang berkulit muka tebal: BADAK!
Atribut pejabat publik dengan segala konsekuensinya pastinya melekat 24 jam per hari hingga usai masa jabatannya. Jika pejabat publik jadi bintang iklan, anjurannya bagi warganya pasti tetap terasa sebuah "perintah". Efek "provokatifnya" lebih dari sekadar ucapan public figure non-pejabat. Maka dari itu, pihak pengiklan pasti mau membayar lebih pada pejabat publik untuk jadi bintang iklan produk yang mereka iklan-kan. Pastinya jauh lebih besar daripada gaji wakil gubernur.
Memang, dari sudut pandang uang atau materi, malu menjadi sebuah sikap yang kadang tidak produktif. Maka diliriklah celah hukum yang bersumber dari ide bahwa uang lebih bagi pejabat tak hanya dapat diperoleh dengan cara korupsi uang atau gratifikasi. Korupsi yang bukan uang juga bisa menghasilkan uang. Korupsi waktu dan menyalahgunakan posisi/jabatan untuk keuntungan pihak lain (pengiklan) yang memberinya uang mestinya juga masuk kategori korupsi. Meski belum ada jerat hukumnya, jerat etika mestinya ada.
Ini bukan masalah mengganggu atau tidak mengganggu tugas sebagai wakil gubernur. Ini masalah keberpihakan pejabat publik pada produk komersial tertentu secara sadar. Semacam rekomendasi yang memicu rasa ketidakadilan. Karena rekomendasi pejabat tersebut dilandasi imbal jasa berupa uang.
"APA? Sudah jadi wakil gubernur masih mau diperalat untuk jualan produk komersial? APA KATA DUNIA?" Jenderal Nagabonar pastinya akan protes begitu.
"Itu buat nyambung idup awak, Jenderal. Gaji wakil gubernur kecil kalee. Bisa mati awak punya keluarga kalau tak ada tambahan penghasilan," jawab si wagub.
"Ahh, tak punya malu, badakbonar kauu!" Jenderal Nagabonar pun berlalu sambil menggerutu. Ia tahu pasti si wagub itu sudah tak punya malu. Karena malu milik si wagub memang tak sengaja telah dicopetnya tadi.
–