Dalam tulisan berjudul " Horcrux Partai Politik", saya telah mengungkapkan maksud istilah horcrux yang digunakan oleh partai politik demi menaikkan citra, mempertahankan pesona, serta tentu saja mendulang suara. Dalam tulisan itu pula saya nyatakan bahwa horcrux PDIP adalah profil Bung Karno, horcrux Partai Demokrat yang sedang dalam proses adalah Pak SBY, sedangkan Partai Golkar yang merupakan partai modern memilih untuk tidak ber-horcrux.
Andai Partai Golkar memutuskan ber-horcrux, profil yang dipilih pasti dan tidak bisa tidak adalah profil Presiden Suharto. Akan tetapi, pamor Presiden Suharto yang meredup atau bahkan tercitrakan antagonis di masa reformasi mengakibatkan Partai Golkar memilih "tiarap" tanpa horcrux dan mengembangkan manajemen partai modern dengan mengedepankan peningkatan kualitas kader-kadernya. Hal ini sebenarnya positif, sangat positif bagi Partai Golkar, tetapi jika kemenangan PEMILU bukan tujuan utamanya.
Entah karena sistem pendidikan yang kurang mengakomodasi penggunaan rasio atau karena pengaruh sistem budaya yang berlaku di Indonesia, yang jelas horcrux partai tetap merupakan ajian ampuh pendulang suara. Mungkin fakta inilah yang menggoyahkan iman Partai Golkar dan akhirnya kembali ke model "partai tradisional" dengan bertumpu kembali pada horcrux. Dan sesuai dugaan banyak orang, horcrux yang dipakai adalah profil Presiden Suharto, penguasa rezim otoriter orde baru yang untungnya masih memiliki kebijaksanaan sehingga tidak pernah mau menjadi ketua partai "asuhannya".
Bermula dari politik "Buritan Truk" berupa gambar diri yang tersenyum sambil mengangkat tangan, citra Presiden Suharto yang dekat dengan rakyatnya kembali mengudara. Memang, tadinya Partai Golkar seakan malu-malu untuk mengakui bahwa mereka senang dan merasa diuntungkan dengan politik "Buritan Truk" itu. Partai Golkar masih istiqomah untuk tidak "memelihara" horcrux. Toh rakyat sudah tahu bahwa Presiden Suharto identik dengan Golkar. Jika citra Presiden Suharto kembali terangkat, otomatis citra Partai Golkar akan terangkat juga. Faktanya memang punya horcrux, tetapi masih di luar partai, informal alias tak resmi. Kepada horcrux tak resmi itu, Partai Golkar mengambil sikap "acuh tak acuh tapi butuh".
Sayangnya, sikap Partai Golkar yang tidak mau mengakuisisi "horcrux gratisan" itu oleh pihak tertentu dimaknai sebagai pelepasan copyright. Horcrux gratisan itu dianggap tak bertuan yang berada di domain publik (public domain) sehingga boleh dimanfaatkan oleh siapapun. Maka, masuklah partai HANURA untuk memungutnya. Partai yang ketua umumnya merupakan mantan Panglima TNI di masa akhir periode kepemimpinan Pak Harto itu merasa memiliki hak untuk merengkuh profil Pak Harto sebagai horcrux-nya.
Fragmen sejarah mundurnya Pak Harto dari kursi kepresidenan dihiasi dengan pernyataan tegas sang panglima TNI saat itu, Pak Wiranto, yang bertekad melindungi sang mantan presiden dan keluarganya. Pak Wiranto juga kader Golkar asuhan Pak Harto sehingga saat mendirikan partai HANURA bisa dikatakan membawa serta paham Golkar sesuai tafsirannya sendiri dan Suhartoisme. Jadi, merunut pada sejarahnya, terutama sejarah ketua umumnya, HANURA pun berhak atas horcrux partai berupa profil Pak Harto. Akibatnya, Partai Golkar kebingungan karena horcrux tak resminya diambil partai lain.
[caption id="attachment_313310" align="aligncenter" width="300" caption="Profil Pak Harto "][/caption]
Peristiwa Bandung Lautan Api mengajarkan taktik bumi hangus; jika tak bisa dimanfaatkan sendiri, jangan sampai bisa dimanfaatkan musuh. Di masa Indonesia Lautan Air berlaku sebaliknya; jika "musuh" bisa memanfaatkannya, jangan sampai tidak ikut memanfaatkannya. Horcrux tak resminya diambil HANURA, Partai Golkar mau tak mau akhirnya "meresmikannya" juga, meski agak terlambat.
[caption id="attachment_313311" align="aligncenter" width="300" caption="Profil Pak Harto pada Baliho Partai Golkar (© www.panjebarsemangat.co.id)"][/caption]
Lalu, pihak mana yang lebih berhak atas horcrux berupa profil Pak Harto dengan segala karisma dan kenegarawanannya? Hal itu bukan hal yang terlalu penting untuk dipikirkan. Partai Golkar pun kemungkinan besar tak akan mempermasalahkannya. Fokus ke masalah internal partai akan lebih bijaksana. Toh sudah tak ada "w(AKIL)" di MK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H