Lihat ke Halaman Asli

Giens

freelancer

Mengubah Budaya Usai Bencana

Diperbarui: 10 Oktober 2015   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rumah mobile, praktis dan ekonomis. (Sumber: homedecorreport.com)"][/caption]

Keledai pun tak akan terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Itu sekadar pepatah. Faktanya manusia yang jauh lebih cerdas daripada keledai kadang lupa sehingga terjatuh ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Penyebabnya bisa jadi ketidaktahuan, kemalasan berpikir, atau justru kenekatan dan ketidakpedulian. Salah satu indikasinya dapat diamati pada cara suatu masyarakat "bersikap" seusai suatu bencana datang menimpa.

Jika bencana itu berupa kekeringan hebat, setelah kekeringan itu berlalu mestinya masyarakat menjadi lebih menghargai  serta menghemat air di samping berjaga-jaga dengan membuat tandon-tandon penampung air atau bahkan bendungan. Jika setelah kekeringan itu berlalu masyarakat masih saja boros air, tidak menghargai air, dan bahkan tidak sedikitpun berniat membuat tandon-tandon penampung air, maka kemungkinan besar mereka akan terjatuh ke lubang yang sama, kembali dilanda kekeringan.

Jika bencana itu berupa banjir, setelah banjir berlalu mestinya masyarakat menjadi lebih peduli dengan kebersihan saluran-saluran air, mewaspadai tanda-tanda akan datangnya banjir, serta melakukan berbagai hal yang diperlukan untuk mencegah terjadinya banjir kembali. Jika setelah banjir itu masyarakat masih saja meneruskan kebiasaan membuang sampah di saluran-saluran air, tak mau tahu kapan kemungkinan banjir kembali terjadi, serta tidak melakukan perbaikan sarana maupun prasarana pencegah banjir, hampir dapat dipastikan banjir akan kembali datang melanda dan masyarakat itu hanya dapat menerimanya begitu saja, memilih selalu mengatasinya, tidak merasa perlu mencegahnya. Kalau memang daerah itu langganan banjir, mestinya perlu perubahan budaya untuk mengatasinya, terutama dalam hal desain rumah tinggal. Toh rumah tak harus selalu berfondasi di dalam tanah, atapnya tak harus selalu genteng tanah liat, dindingnya tak harus berupa tembok batako bersemen. Mestinya ada perubahan budaya dalam desain rumah di daerah langganan banjir. Rumah bisa dibangun semisal perahu yang dapat terapung di atas air.

[caption caption="Rumah apung (Sumber: luxurylifedesign.blogspot.com)"]

[/caption]

Belum lagi di daerah yang rawan gempa. Jika suatu daerah pernah mengalami gempa hebat yang mengakibatkan rusaknya bangunan pemukiman tempat tinggal, mestinya masyarakatnya mulai mempertimbangkan desain tempat tinggal yang tahan gempa; bukan sekadar membangun kembali rumahnya dengan desain dan arsitektur yang sama. Jika rumah didesain untuk tahan gempa, saat terjadi gempa lagi, minimal kerusakan rumah yang dialami tidak sebesar pada rumah yang didesain dengan asumsi tak akan ada gempa melanda.

[caption caption="Rumah mini praktis, bisa dipindah-pindah. (Sumber: www.fastcoexist.com)"]

[/caption]

Begitu pula dengan pihak pemerintah. Jika setiap kali terjadi bencana pemerintah berkomitmen untuk memberi bantuan perbaikan rumah para korban terdampak bencana, mestinya mulai dipikirkan pembuatan rumah rakitan yang diproduksi di suatu tempat dan dapat dirakit/didirikan di tempat lain. Rumah rakitan itu tentunya lebih cepat didirikan daripada rumah permanen berdinding batako bersemen, bergenteng tanah liat, dan berfondasi batuan. Rumah rakitan dapat dimanfaatkan untuk sekolah darurat, klinik darurat, maupun tempat ibadah darurat. Bahkan, jika bahannya bagus, rumah rakitan semacam itu bisa difungsikan secara permanen sebagai rumah tinggal.

[caption caption="Rumah Bongkar Pasang (Sumber: mocosubmit.com)"]

[/caption]

(*update dari edisi yg dulunya gak bisa upload gambar)

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline