Pertamina merupakan salah satu BUMN yang paling maju saat ini, pasalnya dibawah kepemimpinan Karen, perusahaan plat merah ini bisa menembuh fortune 500, bisnis pertamina pun kian merambah ke berbagai sektor, namun yang paling utama yakni bisnis minyak bumi dan LPG. Kedua bisnis tersebut merupakan salah satu penopang bisnis pertamina saat ini, kendati begitu, perusahaan plat merah ini memiliki sejumlah persoalan salah satunya persoalan LPG non subsidi.
Salah satu bisnis pertamina adalah LPG, bisnis LPG pertamina meliputi LPG yang disubsidi dan LPG non subsidi, untuk tabung LPG yang kemasan 3 kg mendapat subsidi dari pemerintah, sementara untuk yang 50 kg dan 12 kg tidak mendapat subsidi. Gas elpiji 12 kg ini tidak mendapat subsidi dari pemerintah..
LPG merupakan gas hidrokarbon produksi dari kilang minyak dan kilang gas dengan komponen utama gas propana (C3H8) dan butana (C4H10). Di Indonesia, LPG digunakan terutama sebagai bahan bakar untuk memasak. Konsumen LPG bervariasi, mulai dari rumah tangga, kalangan komersial seperti restoran dan hotel, hingga industri. Di kalangan industri, LPG digunakan sebagai bahan bakar pada industri makanan, keramik, gelas, serta bahan bakar forklift.
Belakangan, Pertamina melalui Vice Presiden Elpiji dan Gas Product Pertamina, Gigih Wahyu Irianto mengaku terus merugi akibat penjualan elpiji 12 kilogram (kg) yang lebih rendah dari biaya produksinya. Untuk menekan kerugian, Pertamina berkeinginan untuk menaikkan harga elpiji 12 kg. Tak hanya itu, kerugian yang ditanggung Pertamina kian besar karena adanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang telah mendongkrak biaya pembelian bahan baku elpiji.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan India yang berkisar Rp12.600 per kg hingga Rp20.000 per kg, harga LPG nonsubsidi Indonesia merupakan yang termurah, selain itu Indonesia juga termasuk negara yang paling banyak memberikan subsidi bagi LPG, dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Sementara negara-negara Asia lain umumnya tak memberikan subsidi seperti Filipina, China, Korsel, dan Jepang. Secara sederhana, rasionalisasi kenaikan harga elpiji 12 kg didasarkan pada harga jual elpiji yang berkisar Rp4.944 per kg. Sementara harga keekonomian mencapai Rp10.785 per kg. Selisih Rp5.841 per kg akhirnya ditanggung Pertamina.
Harga yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp5.850 per kg, sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp10.785 per kg. Dengan kondisi ini maka Pertamina selama ini telah "jual rugi" dan menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp22 triliun dalam 6 tahun terakhir.
Untuk itu Pertamina berencana menyesuaikan harga gas elpiji 12 kg. Seharusnya penyesuaian dilakukan pada 1 Juli 2014. Namun berhubung ada momen Hari Raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru, penyesuaian itu pun ditunda agar tidak semakin memberatkan beban masyarakat. Jika jadi dilakukan, penyesuaian gas elpiji 12 kg ini merupakan yang kedua selama 2014 ini—yang pertama terjadi pada Januari 2014. Selanjutnya, penyesuaian gas elpiji 12 kg akan diberlakukan setiap enam bulan sekali mulai 2014 hingga 2016. Sebelumnya, sejak 2009 tidak pernah ada penyesuaian harga gas elpiji 12 kg.
Penyesuain harga ini tentunya akan menimbulkan dampak, namun Bank Indonesia memperkirakan penyesuaian tersebut dampaknya tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Pertamina pun menjamin tidak akan adanya migrasi konsumsi gas elpiji dari yang 12 kg ke 3 kg. Pasalnya, Pertamina memiliki data seluruh agen distributor dan sistem monitoring-nya. Jika kemudian ada lonjakan permintaan akan gas elpiji 3 kg, Pertamina tidak akan memenuhinya.
Selain itu, pertamina juga mengantisipasi terkait dengan kekhawatiran adanya migrasi konsumen ke LPG 3 Kg akibat kenaikan harga ini, mengingat harga LPG ini sebesar Rp 4.250 per Kg, menurut dia, Pertamina telah mengembangkan sistem monitoring penyaluran LPG 3 Kg (SIMOL3K). Sistem ini telah diimplementasikan secara bertahap di seluruh Indonesia mulai Desember 2013. Dengan adanya sistem ini, Pertamina akan dapat memonitor penyaluran LPG 3 Kg hingga level pangkalan berdasarkan alokasi daerahnya.
Untuk mengurangi kerugian, Pertamina berniat untuk kembali menaikkan harga tahun ini. Perusahaan energi pelat merah tersebut pun sudah melayangkan surat pemberitahuan ke pemerintah. Sebenarnya untuk menaikkan harga elpiji 12 kg, Pertamina tidak perlu meminta izin pemerintah karena elpiji 12 kg merupakan komoditas yang tidak disubsidi pemerintah.
Namun. Pemerintah kembali menggodok rencana kenaikan harga elpiji kemasan tabung 12 kilogram. Banderol produk PT Pertamina (Persero) itu belum sesuai dengan harga keekonomian. Kementerian ESDM pun berencana membahasnya dengan Menko Perekonomian.
Akibatnya, Rencana Pertamina untuk segera menaikkan harga jual liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji tabung 12 kg sepertinya bakal tertahan. Meskipun sudah ada lampu hijau dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), rencana kenaikan elpiji tabung 12 kg belum bisa dalam waktu dekat.
Akhirnya Pemerintah mengirim surat penundaan kenaikan harga elpiji (LPG) 12 kg dua pekan lalu. Padahal, kenaikan harga elpiji 12 kg ini disetujui secara bertahap. Untuk itu, Harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kilogram dipastikan tak bakal naik pada Agustus ini. Sebab, hingga saat ini, rencana PT Pertamina (Persero) ini tak kunjung direstui izin pemerintah.
Penudaan kenaikan harga LPG ini sontak menukai kritikan dari beberapa pengamat, salah satunya, Direktur Eksekutif Center for Energy and Strategic Resources Indonesia (Cesri) Prima Mulyasari Agustini, dia menilai, kenaikan itu adalah hal wajar dan rasional. Sebab, elpiji ukuran ini dikonsumsi kalangan menengah atas. Maka itu, dia menyayangkan penundaan kenaikan. Bila harga elpiji 12 kg tidak dinaikkan maka PT Pertamina (Persero), kata Prima, akan rugi minimal Rp 5 triliun pada tahun ini.
Senada dengan itu, Pengamat BUMN Said Didu menilai, permintaan pemerintah menunda kenaikan tarif elpiji 12 kg adalah mengajarkan untuk melanggar hukum. Pasalnya, banyak aturan yang diterabas demi penundaan perubahan tarif tersebut.
Menurutnya, ada beberapa hukum yang dilanggar, pertama, UU BUMN. Pemerintah boleh memberikan instruksi atau penugasan, tetapi apabila harga yang dipatok tidak layak, pemerintah harus mengganti biaya disertai penambahan margin. Kedua, yaitu UU Perseroan Terbatas. Pasalnya, tidak boleh pimpinan perusahaan berencana rugi. Ketiga, UU Pajak. Suatu pihak tidak boleh merencanakan rugi demi menghindari pajak. Keempat, UU Persaingan Usa-ha. Sebab, tidak boleh suatu perusahaan merekayasa harga untuk menghalangi masuknya perusahaan lain.
Ujung-ujungnya, imbas dari problematika rencana kenaikan harga LPG non subsidi ini kembali ke pertamina, perusahaan plat merah ini harus menanggung akibatnya, akibat yang nyata adalah pertamina semakin mengalami kerugian, bak makan buah simalakama, penundaan kenaikan harga LPG non subsidi ini membuat pertamina serba salah, mau tidak dinaikkan rugi, mau dinaikan dicegah oleh pemerintah!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H