Lihat ke Halaman Asli

Opina.......

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa Esai tentang Pendidikan

STRATEGI BARU PEMBELAJARAN PADA PERGURUAN TINGGI ISLAM DI ERA MULTIKULTURAL

ADA banyak cara dalam membahas pendidikan. Salah satunya adalah dengan memahami aspek kemanusiaan dan kebudayaan pendidikan. Aspek pertama perlu dibahas karena manusia menempati posisi paling penting dalam proses pendidikan. Pendidikan sering dipahami sebagai aktivitas yang berkesadaran untuk mengembangkan potensi manusia. Atau dalam ungkapan yang lebih filosofis, pendidikan merupakan proses menjadikan manusia agar lebih manusiawi (bermartabat). Dengan posisi yang demikian penting tersebut, maka seluruh aktivitas pendidikandidasarkan pada pandangan yang menyeluruh tentang manusia.Sementara untuk aspek kedua, kebudayaan, juga perlu mendapat perhatian karena aktivitas pendidikan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang hampa.

Banyak definisi telah dirumuskan oleh ahli untuk memahami kebudayaan.Apa pun definisi yang kita pakai, suatu hal yang sudah pasti, kebudayaan memiliki karakter dinamis.Dengan kata lain, kebudayaanselalu mengalami perubahan.Karena pendidikan selalu berdialektika dengan kebudayaan, maka aktivitas pendidikan juga perlu mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada level kebudayaan.

Dalam kajian ilmu-ilmu sosial mutakhir seperti sosiologi, ekonomi, politik, dan antropologi, perubahan menjadi kajian penting. Hampir pada semua kepustakaan ilmu-ilmu sosial, perubahan selalu menjadi kajian penting dalam porsi yang cukup besar. Bahkan banyak pula kepustakaan yang hanya mengkhususkan pada kajian perubahan.Meskipun isu perubahan telah lama menjadi sasaran kajian, dalam bidang sosiologi telah berlangsung sejak abad ke-19, perhatian para ahli tidak sebesar sekarang ini, yakni ketika kehidupan umat manusia secara periodik ditandai dengan pergantian dalam hitungan milenium (dari milenium kedua ke milenium ketiga).

Besarnya perhatian para ahli ini tentu terkait dengan karakteristik perubahan yang sedang berlangsung pada milenium baru ini. Salah satu karakteristik perubahan yang sering disebut oleh banyak ahli adalah globalisasi.Melalui konsep globalisasi ini,perubahan digambarkan sebagai sebuah proses yang menghasilkan dunia semakin menyatu, sempit, dan saling tergantung. Proses globalisasi ini berjalan begitu cepat. Dalam buku, Runaway World: How Globalization is Reshaping our Lives (1999), Anthony Giddens menggambarkan globalisasi sebagaiproses yang berjalan dengan kecepatan tinggi yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Globalisasi, kata Giddens, merupakan dunia yang lepas kendali (runaway world).Dan, yang lebih mengerikan lagi, globalisasi,jika merujuk pada buku Giddens sebelumnya, The Consequences of Modernity (1990),bisa diibaratkan dengan sebuah truk besar (juggernaut) yang meluncur tanpa kendali. Tidak ada seorang pun yang mampu menghentikan sebuah truk besar (juggernaut) yang bernama globalisasi ini.

Penggambaran yang dibuat oleh Giddens bagi sementara kalangan mungkin dianggap terlalu mendramatisasi. Tetapi kalau coba menelisik perkembangan globalisasi, katakanlah di Indonesia dan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, penggambaran Giddens memperoleh pembenaran.Dalam hal makanan misalnya, lidah masyarakat di Indonesia mulai terbiasa dengan produk dari McDonald, KFC, CFC, Texas,yang berasal dari Amerika Serikat, meskipun sangat mungkin dalam aspek politik membenci kebijakan George W. Bush. Belum lagi kalau berbicara aspek lainnya seperti pakaian, mobil, telepon , hiburan, olah raga,pendidikan,jelas tidak ada yang luput dari terpaan globalisasi. Nama pemain sepak bola dunia seperti Chriastiano Ronaldo,Wayne Rooney, Frank Lampard, Didier Drogba, Ronaldinho, Kaka, Ronaldo, David Beckham, Roberto Carlos, Totti, Robinho, Raul Gonzales,Ruud van Nisterlrooy, mudah dikenal oleh orang Indonesia daripada pemain Indonesia sendiri.Masih contoh dalam bidang olah raga, kemenangan dramatis Real Madrid melawan Real Mallorca Minggu kemaren (17/6),tidak saja disambut gembira oleh sekitar 80 ribu Madridistas (suporter Real Madrid) di Spanyol, melainkan juga oleh jutaan fans lainnya di luar Spanyol (Tentu banyak juga masyarakat di sini yang menjadi fans berat Real Madrid. Klub sepak bola lokal tidak perlu kecewa jika tidak mendapatkan apresiasi seperti dialami oleh Real Madrid. Inilah globalisasi!).Sedikit contoh ini bisa dijadikan bukti bahwa globalisasi telah menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan, setidaknya di Indonesia.

Jika perkembangan globalisasi memang tidak terbantahkan lagi,maka diperlukan suatu cara menghadapinya yang, di satu pihak tidak berakibat pada munculnya sikap reaksioner yang berlebih-lebihan, sementara di pihak lain, juga tidak larut dalam euforio globalisasi. Bagi umat Islam tidak ada pilihan lagi selain menghadapi globalisasi dengan sikap elegan. Masalahnya, pada saat globalisasi berjalan begitu dahsyat,alih-alih kehidupan umat Islam belum beranjak dari situasi yang sering disebut oleh kalangan Islam sendiri dengan krisis.Eqbal Ahmed, misalnya, ketika mengulas relasi umat Islam dengan politik dalam buku, Islam, Politics and the State: The Pakistan Experience (1985), menyelipkan sub bab, Crisis of Muslim Society. Pada bagian ini Eqbal Ahmed melakukan review terhadap kondisi kontemporer umat Islam yang ia sebut tidak lagi memperlihatkan pararelisme dengan dua realitas sejarah besar, yakni dengan sejarah Islam klasik dan sejarah kontemporer dalam mana Islam secara sistematis mengalami proses dehegemoni.Dalam menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan ini,Eqbal Ahmedmenyayangkan munculnya dua sikap yang saling bertolak belakang antara kaum restorasionis di satu kutub, dan kaum pragmatis di kutub lain. John L. Esposito dalam buku, Islam: The Straight Path (1998), menyebut kubu pertama dengan kaum tradisionalis. Kubu pertama, baik menurut Eqbal Ahmed maupun John L. Esposito,memilih menolak terhadap semua kemajuan zaman, dan memiliki sikap militan untuk kembali kepada Islam awal.Sebaliknya, kubu kedua, kaum pragmatis, mengambil posisi sebagai “teman dekat” kemajuan zaman.Kedua kubu ini, lagi-lagi menurut Eqbal Ahmed dan John L. Esposito,sama-sama akan berhadapan dengan risiko yang tidak bisa dipandang remeh. Pada kaum tradisional-restorasionis,benih-benih radikalisme mudah tumbuh karena pandanganya yang rigid terhadap sejarah Islam awal, sementara di pihak lain, menaruh sikap curiga terhadap segala bentuk kemajuan.Hal yang sama akan terjadi pada kaum pragmatis, benih-benih radikalisme juga akan mudah muncul. Turki bisa dijadikan contoh sebagai representasi sikap pragmatis umat Islam. Jalan sekuler yang sengaja ditempuh oleh Turki pada akhirnya harus dibayar mahal karena banyak dari masyarakat Turki yang kemudian terjebak pada sikap paranoid bahkan terhadap simbol-simbol Islam yang semestinya merupakan wilayah privat,jilbab misalnya.

Jika demikian, maka sikap dari kaum tradisional-restorasionis dan kaum pragmatis tidak bisa dijadikan sebagai pijakan dalam menghadapi globalisasi. Dalam menghadapi globalisasi umat Islam tampaknya perlu mempertimbangkan semacam “jalan ketiga” seperti judul buku Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998). Jalan ketiga sengaja direkomendasikan bahkan sejak pada bagian awal tulisan ini karena dapat memberikan ruang kritis-akomodatif kepada umat Islam dalam menghadapi globalisasi. Ada pendapat menarik dari Olivier Roy dalam buku, Globalised Islam:The Research for a New Ummah (2004): “…I do not believe that such “pristine” culture were static and immune from global influence”.Pada bagian “Islam awal” tentu ada yang bisa disebut sebagai “pristine” culture, meskipun ada bagian lainnya tetap memiliki status kemutlakan .Karena dalam Islam selalu ada sisi dinamis,maka bukan pilihan yang salah jika umat Islam menjadi bagian dalam proses globalisasi. Mahmud Hamdi Zaqzuq (2004) memberikan argumen sebagai berikut:

Idealnya, kita tidak mengambil posisi sebagai pendukung atau penantang globalisasi. Tetapi kita harus menyikapi globalisasi (juga arus pemikiran luar lainnya ) secara kritis. Dan penulis sendiri berkeyakinan bahwa kaum muslimin memang harus mengambil sikap kritis dengan menelaah setiap permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.

Pada titik singgung seperti itu, menurut hemat penulis, ada beberapa catatan penting yang harus digaris bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa Islam sebagai agama—bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporer belaka—seharusnya tidak perlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, karena ia memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran yang barubermunculan. Sehingga dengan demikian, beragam pengaruh luar dan dalam tak perlu dikhawatirkan oleh Islam, selama umat Islam sendiri mampu memahami agama mereka dengan benar, dan menghayati secara utuh tujuan, target maupun mutiara yang terkandung di dalamnya.

Kedua,harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. Pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul dihadapan kita.

Ketiga, kita tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi komunikasi dan informasi, revolusi teknologi, serta era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita sendiri.

Argumen dari Olivier Roy dan Mahmud Hamdi Zaqzuq terkandung rekomendasi yang begitu jelas agar umat Islam memilih “jalan ketiga” atau “jalan tengah” dalam menghadapi globalisasi. Bagaimana umat Islam bisa mengambil “jalan ketiga” atau“jalan tengah”, sangat tergantung pada insfrastruktur yang dimilikinya. Dalam konteks ini, keberadaan institusi pendidikan Islam menarik diperbincangkan. Di muka telah dikemukakan bahwa pendidikan perlu dipahami dalam konteks kebudayaan secara luas. Salah satu fenomena kebudayaan kontemporer yang perlu diperhatikan oleh pendidikan adalah globalisasi.Jika ada rekomendasi agar umat Islam tidak mengisolasi dari globalisasi,maka cara pencapaiannya sangat tergantung pada kualitas manusia yang dihasilkan oleh pendidikan. Pembahasan berikut ini di maksudkan memahami kembali secara mendasar konsep manusia dalam pendidikan. Melalui pembahasan ini diharapkan bisa diketahui karakteristik manusia yang ideal yang ingin dikembangkan oleh pendidikan dan sekaligus mampu menghadapi tantangan globalisasi. Karena aktivitas pendidikan dalam mengembangkan manusia tidak dilaksanakan dalam ruang hampa, maka pada bagian berikutnya disajikan pembahasan tentang pendidikan sebagai proses kebudayaan. Melalui pembahasan topik tersebut, diharapkan bisa dipahami posisi pendidikan dalam konteks kebudayaan yang terus memperlihatkan dinamika.

PENTINGNYA PEMBELAJARAN ILMU-ILMU AGAMA ISLAM (AL-QUR’AN DAN HADITS) BERBASIS MULTIKULTURAL

Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam berusaha mendudukkan Islam sebagai obyek studi, yang perlu dikaji dan dianalisis secara kritis-rasional, obyektif, historis-empiris dan sosiologis. Namun demikian, apa artinya olah nalar dan historis-empiris terhadap ilmu-ilmu agama Islam (dalam hal ini al-Qur’an dan hadits) jika tanpa disertai dengan pendekatan keagamaan, yang berusaha membangun sikap dan perilaku yang memiliki komitmen (pemihakan), loyalitas dan dedikasi terha­dap Islam, sebagai agama yang diyakini kebenarannya yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits, atas dasar wawasan keilmuan keislaman yang dimilikinya.

Mungkin kita bertanya: Islam mana yang perlu dianali­sis secara kritis? Dalam memahami Islam, kita perlu mendu­dukkan secara jelas mana Islam Ideal, Islam Interpretasi dan mana pula yang Islam historis. Islam ideal adalah Islam cita-cita sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (sebagai kalam Allah) dan yang dijelaskan oleh Nabi SAW dalam sunnah/haditsnya. Teks Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah sudah teruji kebenaran dan otentitasnya, sehingga kita yakin akan kebenarannya.

Ketika teks hadir di depan kita, maka teks menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan berusaha menangkap maknanya. Makna itu sendiri berada dalam teks (the world of the text), dalam otak pengarang (the world of the author), dan dalam benak pembacanya (the world of the readers) (Hidayat, 1996). Ketiga-tiganya merupakan titik pusaran yang saling mendukung atau bisa jadi “membelokkan” dalam memahami sebuah teks. Bagaimana manusia bisa memahami ide Tuhan yang ter­tuang dalam teks nash dengan benar, sementara kita sebagai manusia tidak mampu berhadapan langsung denganNya (the world of the Author) untuk menanyakan secara langsung apa yang dikehendakiNya. Tuhan adalah Immateri, sementara manusia berada dalam alam materi dan empirik.Di samping itu pemak­naan yang muncul dari al-Qur’an juga sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, sosio-kultural dan bahasa pihak pembacanya (the world of the readers). Di sinilah maka logis saja bila muncul berbagai ragam penafsiran dan pendapat (Islam interpretasi) yang selalu berkembang secara dinamik mengenai the Mind of God yang ada di balik firman-firmanNya. Perbedaan-perbedaan itu antara lain bisa disebabkan karena perbedaan cara pandang dan segi metodologinya.

Keragaman  pemahaman  dan  penafsiran  tersebut   pada gilirannya memunculkan pola-pola artikulasi  keberagamaan, yang menurut  Azra (1999) dikelompokkan ke dalam  3  (tiga) tipologi, yaitu: (1) Substansialisme yang lebih mementingkan  substansi/isi dari pada label  atau simbol-simbol eksplisit; (2) Formalisme/Lega­lisme yang cenderung sangat literal, dan/atau ketaatan formal dan hukum agama  dieks­presikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label keagamaan; dan (3) Spiritualisme yang lebih menekankan pada pengembangan sikap batiniah, melalui keikutsertaan dalam kelompok spiritual-mistik,  tasawuf/tarekat, bahkan kelompok kultus (cult). Sungguhpun batas-batas dari masing-masing tipologi tersebut, yang diakui sendiri  oleh Azra, tidak harus ketat, bahkan kadang-kadang terjadi  over­lapping (tumpang tindih).

Dalam menyikapi artikulasi keberagamaan tersebut, para ulama biasanya bersikap tawadlu' dalam mengakhiri  interpre­tasinya dengan ungkapannya Wallaahu a'lam bi al-shawab  bi muradih (Hidayat, 1996), yakni pada akhirnya hanya The Speaker (Allah) yang paling  tahu persis  apa  yang dikehendaki dengan firman-firmanNya itu. Dengan demikian interpretasi terhadap teks agama itu sendiri bukan wahyu, tetapi ia merupakan produk pemikiran  manusia atau kebudayaan, yang siap menerima kritik  dan perubahan-perubahan atau dapat dikritisi dan diperdebatkan oleh  para mahasiswa, cendekiawan dan akademisi.

Proses dan produk penafsiran yang bermacam-macam itu direalisasikan dan dilakukan oleh umat Islam dalam perjala­nan sejarahnya (Islam historis), sehingga menurut pandangan umat Islam pada zamannya dan dalam konteks geografis dan sosio-kultural tertentu, hasil penafsiran itu dipandang relevan, sementara bagi generasi berikut atau dalam konteks geografis dan sosio-kultural lainnya bisa jadi ia dianggap sebagai kurang relevan atau perlu penyempurnaan, sehingga perlu melakukan perubahan paradigma dan rekonstruksi metodologis. Kesadaran semacam ini mendorong seseorang untuk bersikap kritis, toleran dan terbuka terhadap interpretasi dan pendapat orang lain. Inilah di antara substansi yang dituju dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam (al-Qur’an dan hadits) pada Perguruan Tinggi Islam.

Apalagi kalau dicermati lebih jauh ternyata trend yang sedang berkembang dan juga dihadapi oleh agama-agama  pada saat  ini adalah munculnya internal diversity (keragaman internal)  yang merupakan proses yang tak  terhindarkan. Di kalangan  umat Islam sendiri terdapat beberapa aliran yang memiliki karakteristik sendiri-sendiri,  bahkan  di  dalam tubuh suatu organisasi Islam para anggotanya dapat menyalurkan aspirasi politiknya ke dalam beberapa Partai. Kalau masyarakat belum siap dan kurang memiliki kesadaran akan multikulturalism, maka klaim kebenaran itu bukan hanya terbatas pada hubungan antar agama saja, tetapi juga terjadi di dalam wilayah intern pengikut-pengikut agama itu sendiri. Apalagikalau klaim kebenaran itu dibungkus dalam simpul-simpul interest, kepentingan-kepentingan  pribadi atau kelompok, baik yang bersifat politis maupun sosiologis.

Di  dalam ajaran Islam terdapat suatu  pandangan  yang universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan tertinggi/termulia (Q.S. al-Tin: 5, dan  al-Isra': 70), serta diciptakan dalam kesucian  asal (fitrah),  sehingga setiap manusia mempunyai potensi benar. Di sisi  lain, manusia juga diciptakan oleh  Allah  sebagai makhluk yang  dlaif (Q.S. al-Nisa':  28),  sehingga  setiap manusia mempunyai potensi salah. Pandangan semacam ini  akan berimplikasi  pada  sikap dan perilaku seorang muslim  yang berhak  menyatakan  pendapat, harus mau mendengarkan  dan menghargai pendapat serta pandangan orang lain, tidak berfa­ham kemutlakan (absolutisme), serta  tidak  mengembangkan sistem kultus individu, fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus hanya diarahkan kepada Allah semata.

Di dalam Q.S. al-Hujurat: 13, juga dinyatakan bahwa semua manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan; mereka memiliki keyakinan (agama), tradisi dan budayanya sendiri; mereka memiliki pandangan hidup yang bermacam-macam; serta hidup dalam berbagai suku, bangsa dan bahasa. Karena itu, bagaimana agar masing-masing saling memperkenalkan dirinya, pandangan hidupnya, keyakinan (agama)-nya, tradisi dan budayanya. Melalui proses saling kenal mengenal atau tukar-menukar ’urf, saling mengetahui dan memahami itu akan timbul kesadaran akan multikulturalisme dalam hidup, untuk selan­jutnya dapat ditelaah secara mendalam mana di antara mereka yang memiliki keunggulan dan keutamaan, mana pula yang paling benar dan salah melalui ujian logika, ilmu pengeta­huan, sejarah dan ajaran universal Islam.

Uraian di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan  pembelajaran dan pendidikan ilmu-ilmu agama Islam serta al-Qur’an dan hadits pada Perguruan Tinggi Islam berpotensi untukmengarah pada sikap toleran atau intoleran, berpotensi untuk mewujudkan integrasi (persatuan dan kesatuan) atau disintegrasi (perpecahan) dalam kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut akan banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh: (1) pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut; (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; dan (4) peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pengikutnya (Muhaimin, 2005).

Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik,tekstual dan skriptural, karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru agama yang bersifat doktriner, rigid (kaku) dan mengembangkan sikap fanatisme buta, serta didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai faktor disintegratif (pemecah), yang pada gilirannya ide multikultural berubah menjadi mono-kultural. Padahal Allah sendiri sudah berfirman “Walaw sya-allahu laja’alakum ummatan wahidah walakin liyabluwakum fima atakum fastabiqu al-khairat, ilallahi marji’ukum jami’an fayunabbi’ukum bima kuntum fihi takhtalifun (Q.S. Al-Maidah: 48), yang maksudnya ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Atas dasar itulah, maka pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam serta al-Qur’an dan hadits di Perguruan Tinggi Islam era Multikultural diharapkan agar tidak sampai: (1) menumbuhkan semangat fanatisme buta; (2)  menum­buhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyar­akat; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan umat (Muhaimin, 2006). Sebaliknya, pengembangan pembelajaran tersebut diharapkan agar mampu menciptakan ukhuwah  Islamiyah dalam suasana multikultural, yakni persaudaraan yang bersifat Islami, bukan sekedar persaudaraan antar umat Islam sebagaimana yang selama ini difahami, tetapi juga mampu membangun persaudaraan antar sesama, serta mampu  membentuk kesalehan pribadi sekaligus kesalehan sosial.

PEMBELAJARAN ILMU-ILMU AGAMA ISLAM (AL-QUR’AN DAN HADITS) BERBASIS MULTIKULTURAL

Pembelajaran yang berbasis multikultural di era globalisasi menuntut guru atau dosen untuk mengubah paradigma atau mind-set, sebab mahasiswa bukan hanya diposisikan sebagai individu, tetapi ia merupakan warga lokal dan global. Sebagai individu, maka ia memiliki berbagai potensi fitrah manusia, sehingga pembelajaran (meminjam istilah Hasan, 2006) berfungsi untuk mengembangkan potensi-potensi fitrahnya, serta menyelamatkan dan melindungi fitrahnya. Upaya pengembangan, penyelamatan dan perlindungan terhadap potensi fitrah manusia tersebut diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa sebagai proses aktualisasi dirinya, memberikan program-program untuk melayani keperluan dan kemampuan-kemampuan serta minat individu, lebih banyak belajar untuk mencari dan menemukan sendiri cara membentuk pengetahuan dan dalam mencari makna, atau mendorong mahasiswa agar belajar tentang bagaimana cara belajar (learning how to learn).

Sebagai warga lokal dan global, maka mahasiswa dan pembelajarannya difasilitasi dengan berbagai sumber belajar baik yang bersifat lokal maupun global, dukungan dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang digunakan untuk mengoptimalkan berbagai peluang bagi pengembangan diri mereka selama proses belajar, kegiatan belajar bisa dilakukan di mana dan kapan saja, kesempatan belajar mereka tidak terbatas, sehingga memiliki pandangan atau wawasan lokal dan internasional. Di saat seperti ini, mahasiswa akan berhadapan dengan berbagai problem dan tantangan yang beraneka ragam sebagai dampak negatif dari globalisasi. Karena itu, pembelajaran (meminjam istilah Hasan, 2006) juga berfungsi untuk menyelaraskan langkah perjalanan fithrah mukhallaqah (fitrah yang diciptakan oleh Allah pada manusia, yang berupa naluri, potensi jismiyah, nafsiyah, aqliyah dan qalbiyah) dengan rambu-rambu fithrah munazzalah (fithrah yang diturunkan oleh Allah sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek kehidupannya, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur kehidupan yang benar, atau di atas jalur “ash-shirath al-mustaqim”.

Kegiatan pembelajaran perlu mempertimbangkan dan mengembangkan kecakapan-kecakapan hidup, terutama yang diperlukan olehmahasiswa di era globalisasi setelah mereka lulus dan memasuki lapangan kerja dan/atau melakukan pengabdian dan berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Menurut hasil survey tentang apa yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang lulusan (graduates) adalah sebagai berikut: (1) Effective Communication; (2) Problem-solving ability; (3) Analytical skills; (4) Team work; (5) Flexibility and adaptability; (6) Can work crossculturally; (7) Leadership; (8) Second language; (9) IT/Computing; (10) Understanding globalization era; (11) Personality. Berbagai kecakapan hidup ini perlu diinternalisasikan ke dalam strategi pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam (al-Qur’an dan hadits).

Pembelajaran Al-Qur’an-Hadits di Perguruan Tinggi Islam memiliki karakteristik sendiri yang menekankan pada kemampuan baca tulis yang benar dan baik, memahami artinya, menangkap kandungan isinya, dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan (alam, sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain-lainnya), sehingga al-Qur’an dan hadits - sebagai sumber ajaran dan nilai-nilai Islam - benar-benar menjadi hudan (petunjuk dalam kehidupan), furqan (pembeda antara yang haq dan bathil, antara yang benar dan salah, dan antara yang baik dan buruk), rahmah, serta syifa’ ma fi ash-shudur (obat jiwa manusia).

Semua umat Islam sepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum muslim di seluruh penjuru dunia dewasa ini adalah sama tanpa perbedaan sedikitpun dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad saw dari Allah melalui malaikat Jibril. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah qath’iy ats-tsubut/al-wurud, yakni kebenarannya mutlak dilihat dari kebenaran sumbernya. Demikian pula hadits mutawatir dipandang sebagaiqath’iy ats-tsubut/al-wurud, sedangkan hadits ahad dipandang sebagai zhanny al-wurud, yakni kebenaran sumbernya masih relatif karena hanya diriwiyatkan oleh beberapa orang perawi saja, yang mungkin bisa bersepakat untuk dusta, sehingga diperlukan kritik sanad.

Dilihat dari segi kandungan makna (ad-dalalah) redaksi ayat-ayat al-Qur’an dan juga al-hadits, ada yang qath’iy ad-dalalah dan ada yang zhanny ad-dalalah. Yang dimaksud qath’iy ad-dalalah ialah kandungan makna ayat atau hadits tersebut mutlak kebenarannya, dalam arti yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus difahami darinya (teks), tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna dari teks tersebut (Khallaf, 1968).Sedangkan zhanny ad-dalalah ialah kandungan makna ayat tersebut bersifat tidak pasti (relatif) karena masih terbuka kemungkinan makna yang lain. Sehubungan dengan ini, Arkoun (dalam Hunter, Ed., 1988) menyatakan bahwa “kitab suci itu mengandung kemungkinan makna yang tak terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat yang dasariah, eksistensi yang absolut. Ia, dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna”. Bahkan para ulama tafsir menyatakan bahwa al-Qur’an hammalat li al-wujuh (al-Qur’an mampu mengandung banyak interpretasi), sehingga dari segi penggalian makna,mereka mengenal ungkapan “Seseorang tidak dinamai mufassir kecuali jika ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat al-Qur’an” (Shihab, 1992).

Di sisi lain, seseorang bisa berkata bahwa setiap nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang disebut dalalah haqiqiyyah (makna yang hakiki). Tetapi bagi para pendengar atau pembaca, dalalah-nya bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash atau redaksi tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, sehingga mereka bisa berbeda pendapat. Inilah yang disebut dengan dalalah nisbiyyah (makna/arti yang relatif). Redaksi al-Qur’an bagi Allah mengandung satu arti saja, yaitu arti yang dimaksudkan oleh-Nya,tetapi bagi pendengar atau pembaca al-Qur’an, makna redaksi ayat tersebut bisa bermacam-macam karena dipengaruhi oleh latar belakang mereka dan konteksnya yang bermacam-macam pula, sehingga melahirkan berbagai interpretasi yang berbeda-beda. Karena itu, hasil interpretasi dari para pendengar dan pembaca tersebut bersifat relatif.

Adanya kandungan makna (ad-dalalah) redaksi ayat-ayat al-Qur’an dan juga al-hadits yang zhanny ad-dalalah, yakni kandungan makna ayat atau hadits bersifat tidak pasti (relatif) karena masih terbuka kemungkinan makna yang lain, akan memberi peluang untuk mengembangkan strategi pembelajaran al-Qur’an dan al-hadits yang lebih mendorong mahasiswa untuk melakukan sharing ideas, berfikir ulang serta bereksplorasi dan saling mengkritisi terhadap produk-produk penafsiran ulama sebelumnya untuk dikaitkan dengan fenomena kehidupan kini dan yang akan datang, tanpa berpretensi untuk merendahkan produk-produk pemikiran ulama terdahulu. Melalui upaya semacam itu akan dapat melahirkan nuansa-nuansa baru dalam penafsiran, sekaligus dapat membangun sikap dan perilaku keberagamaan yang lebih kontekstual dan membumi.

PENUTUP

Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam (al-Qur’an dan hadits) sebenarnya akan lebih menarik dan bermakna bagi mahasiswa jika melibatkan lingkungan sekitar dan dunia nyata (real world) sebagai laboratorium pendidikan agama Islam dan media penelitian untuk menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Hal ini bisa dilakukan melalui pembelajaran berbasis kontekstual dan riset dalam rangka mengem­bangkan faith in action or moral action, yakni keyakinan yang diwujudkan dalam tindakan atau perilaku (akhlak) mahasiswa.

Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam (al-Qur’an dan hadits) berbasis kontekstual dan riset akan dapat mengantarkan mahasiswa sampai pada tahapan afeksi, dan tahapan psikomotorik, yang dilakukan dengan cara mengangkat topik-topik, isu-isu, tema-tema, dan problema-problema sosial keagamaan, sosial-kultural dan sosial kemasyarakatan yang kongkrit dan relevan. Topik-topik tersebut kemudian dikaji bersama (team work), didiskusikan antar teman dengan berbagai latar belakangnya dan/atau diteliti oleh sekelompok mahasiswa. Melalui kegiatan tersebut akan dapat menghilangkan unsur indoktrinasi, menghindari metodologi yang bersifat statis-indoktrinatif-doktriner, serta dapat membangun sikap kooperatif dan kolaboratif dalam penyelesaian masalah, yang sekaligus mendukung terwujudnya pembelajaran era multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, (1996), Studi Agama: Normativitas atau Historisi­tas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, M. Amin, (2006), Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Ghazali, Muhammad, (1989),al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Kairo: Dar asy-Syuruq.

Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, (1983),al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami.

Azizy, M. Qodri, (2003), Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Ditpertais Depag RI.

Azra, Azyumardi, (1999), Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisa­si Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.

Brown, B. L (1998), Applying Constructivism in Vocational and Career Education. Information Series No. 378. Columbus: ERIC Clearinghouse on Adult, Career, and Vocational Education, Center on Education and Training for Employment, College of Education, The Ohio State University.

Cheng, Yin Cheong, (2001), New Vision of School-Based Management: Globalization, Localization, and Individualization. Keynote Speech Presented at The First National Conference on School Based Management, Organized by The Ministry of Education of the Israel Government, 1-6 April 2001.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline