Lihat ke Halaman Asli

Sugie Rusyono

Menulis merupakan ritus keabadian

Membumikan Bumi

Diperbarui: 22 April 2021   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hutan Jati di kawasan Kabupaten Blora ; Foto: Sugie

Bumi menjadi pijakan hidup bagi semua makhluk.  Bumi  juga kerap memberikan banyak pesan kepada semua makhluk, tidak terkecuali diriku. Melalui apapun pesan itu disampaikan, isyarat, hembusan angin, air yang mengalir, tanah yang merekah hingga tetesan air terakhir.  Pesan itu menjadi sesanti untuk semua, bahwa Bumi menjadi sentral dan menjadi sumber penghidupan bagi semuanya. Merawat bumi bukan hanya merawat kehidupan tetapi juga merawat keabadian.

Termasuk juga adanya peringatan hari Bumi, tentu kalau boleng ngomong Bumi akan senang ada yang memperingatinya. Ada yang mengingatnya, melalui beragam aktivitas, ada yang melakukan upacara seremonial, melakukan penghijauan dan seabrek kegiatan lainnya untuk selalu mengingat akan betapa pentingnya manusia menjaga dan merawat bumi. Bukan malah merusaknnya dan menelantarkannya.  Bukankan bumi adalah sumber kehidupan.

Agar Bumi terus memberikan sumber penghidupan, memang kesadaran untuk merawat bumi harus tumbuh dan dilakukan dengan aksi nyata. Kalau hanya hanya sekedar simbolis dan retorika, dari meja-meja kemeja hanya menelurkan sebuah konsep, maka akan menjadi sia-sia.  Kita masih sepakat kalau selama ini memang cendurung menjadi seremoni semata, paska kegiatan seakan semangat merawat bumi kembali hilang dalam kesadaran jiwa kita semua. Kita kembali pada jiwa-jiwa yang  lepas dan tanpa kesabaran. Itu semua, butuh lebih dari sebuah keteladanan untuk mau bertindak dan memberikan contoh langsung.

Jika bumi tidak dirawat tentu akan membawa petaka. Sulitnya air saat musim kemarau, atau hilangnya pohon-pohon yang ada di sekitar mata air. Pohon ditebang di sepanjang jalan, halaman kantor dan ruang publik lainnya. Mengisyaratkan kita memang sulit merawat bumi. Kita masih abai dan lalai. Orientasi peringatan apapun hendaknya diejawantahkan untuk wahana mengembangkan kesadaran, kesabaran jiwa bagi siapapun, kapanpun dan dimanapun. Siapapun memiliki kewajiban yang sama untuk merawat bumi.

Sebenarnya cukup banyak gerakan-gerakan untuk merawat Bumi oleh kelompok masyarakat, dan gerakan tersebut terbukti bisa membawa perubahan prilaku bagi masyarakat dalam melestarikan alam. Hal-hal seperti itu memang wajib untuk terus di berdayakan dan dikembangkan. Sebab itulah sejatinya wujud merawat Bumi.  Pernah suata ketika ada salah satu sekolah dan PMI yang membawa plastik hitam besar saat mengikuti kegiatan karnaval, sampah-sampah yang berserakan yang dilaluinya seketikan di pungut, diambil dan dimasukkan dalam plastik bersar tersebut. Sayangnya ini tidak dilakukan secara berkelanjutan, tetapi benih kesadaran dan kesabaran itu sudah ada. Tidak mudah memang memberikan literasi kepedulian akan merawat bumi ini, butuh keteladanan dan tindakan nyata.

Tindakan bagaimana harus merawat bumi banyak dikisahkan, seperti dalam cerita pewayangan Mahabarata yang mengisahkan babat alas amarta. Dimana saat membabat hutan Bima banyak bertarung dengan hewan-hewan liar yang sudah lama menjadi penghuni hutan tersebut. Namun akhirnya hutan tersebut tidak dibabat semua.  Hutan yang masih dibiarkan dan untuk hidup hewan-hewan atau makhluk lainnya. Dengan demikian kedidupan dan eksoistem yang sudah lama ada, tetap bisa berkembang dengan baik dan tidak mengalami kepunahan.  Bayangkan saja jika semuanya dibabat habis, tentu hewan-hewan dan makhluk lainnya tentu akan menganggu perkampungan yang ditinggali manusia.

Kini banyak hutan-hutan dibabat habis, ekosistem yang ada sebelumnya menjadi terancam. Maka tak heran ada binatang yang masuk ke perkampungan-perkampungan. Apa sebabnya, habitat yang menjadikan mereka hidup sudah tidak ada lagi.

Saya jadi teringat akan lirik lagu Berita Cuaca karya almarhum Gombloh,

"Mengapa tanahku rawan kini?
Bukit-bukit pun telanjang berdiri
Pohon dan rumput enggan bersemi kembali
Burung-burung pun malu bernyanyi

Kuingin bukitku hijau kembali
Semak rumput pun tak sabar menanti
Doa 'kan kuucapkan hari demi hari
Dan kapankah hati ini lapang diri?

Harapan akan Bumi bisa hijau kembali, sudah di sampaikan sejak lama. Sekali lagi, meneguhkan kesadaran rasa untuk merawat Bumi harus tetap ada, Bumi menjadi sumber penghidupan semua. Ritus kesuburan, ritus keabadian dan ritus sosial semuanya ada di Bumi.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline