Lihat ke Halaman Asli

Ustad Indonesian Idol

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu ketika datang sebuah pertanyaan kepada Mbah Petruk tentang video heboh Ustad Hariri di salah satu pengajian di Bandung. Bertanya sang penanya,”Mbah, tanggapan anda tentang Ustad Hariri bagaimana?”.

“Kalau menurutku sih bagus. ”

“Loh kok bagus Mbah? Maksudnya bagaimana? Kok anda malah memuji? Kok ndak ikut menghujat kelakuannya yang telah mencoreng islam itu?”

“Tidak ada pentingya untuk menghujat, karena toh selama ini tanpa ada kejadian dari Hariri itu, sebenarnya islam sudah di hujat sendiri oleh umat islam itu sendiri. Perbuatan kita, sikap perilaku dan cara pandang kita yang mengaku islam dan bangga dengan KTP Islam kita ini bahkan sebenarnya sebelas-dua belas sama Hariri alias ga jauh beda.”

“Kalau soal bagusnya, Mbah?”

“Jadi umat islam Indonesia, menjadi tergugah serta terbuka mata dan hatinya untuk tidak gampang-gampang percaya kepada segala hal yang artifisial atau jadi-jadian. Entah apapun sebutan atau nama profesinya, terserah jenis label jabatan yang di lekatkan padanya, dari kejadian ini umat islam akan mulai belajar kembali untuk mencari panutan, pemimpin, imam, sampai presiden yang benar-benar sejati.”

***

Sudah terlalu lama, bangsa indonesia ini mengidap penyakit hipokrisi akut, selain juga jenis-jenis penyakit psikologis lain yang sudah mencapai stadium empat yang sulit untuk di sembuhkan. Kita dengan mudah dan kalem mampu menyandingkan kemungkaran dan kebaikan, dosa dengan pahala, surga dan neraka, kebaikan dan kejahatan, kejelekan dan keindahan dan apapun saja. Karena sudah sedemikian kompleknya kehidupan kita yang di warnai hal seperti itu, semakin lama kita menjadi tidak mengerti kembali mana keindahan mana kebusukan, mana pemimpin mana parampok, mana presiden mana artis, mana ustad mana pedagang.

Kita sering melihat tayangan semacam Indonesia Idol. Festival kompetisi menyanyi untuk mencari talenta yang terbaik dalam teknik dan karakter vokal untuk di orbitkan menjadi diva profesional. Talenta terbaik itu di poles, di asah dengan kriteria-kriteria yang sesuai dengan pemilik modal dan kira-kira potensial di senangi oleh konsumen. Dan lagu atau teknik vokal yang terbaik itu yang seperti apa? Mainstream saat ini secara bersama-sama telah menyepakati lagu barat lah yang di jadikan kiblat musik dunia. Mereka bangga telah melahirkan blues, jazz, rock, pop, RnB dan bermacam genre yang lain dan dengan santainya menyingkirkan musik-musik etnis, musik daerah yang mungkin secara seni tidak bisa di bilang lebih buruk dari blues, jazz dlsb.

Karena ternyata Indonesia Idol juga hanya mengakomodir lagu-lagu barat sedangkan lagu-lagu daerah asli Indonesia tidak pernah di beri ruang. Sekalinya ada yang membawakan tembang daerah, langsung saja jurinya menyatakan tidak cocok dengan konsep indonesian idol. Kalau begitu, nama indonesian idol tidak cocok apabila konsepnya seperti yang juri nyatakan. Cocoknya di ganti saja American Idol versi Bahasa Indonesia.

Begitupun juga dengan ustad-ustad yang sekarang ini banyak muncul di televisi. Mereka bukan benar-benar orang terbaik yang mampu dalam hal kebaikan, mampu menjadi penjaga moral masyarakat, penjaga nilai-nilai luhur dan akidah agama yang mereka gembar-gemborkan. Mereka ternyata menjadi ustad hanya sekadar menjalankan sebuah profesi laiknya sopir angkot, atau pedagang kembang api.

Ustad itu secara harfiahnya adalah guru. Guru itu di manapun adalah sebuah profesi yang mulia. Tapi guru bisa celaka apabila guru sampai menggadaikan ilmunya untuk lembaran rupiah. Ilmu yang berharga di jual belikan dengan harga murah untuk mengongkosi perbuatan dan sikapnya yang tidak mencerminkan seseorang yang memiliki ilmu dan bahkan merendahkan derajat keilmuan serta martabat kemanusian.

Sekarang siapa di Indonesia ini yang pantas dan legitimit untuk melabeli seseorang itu ustad atau bukan? Kyai atau walikah dia? Kok sekarang tiba-tiba dengan mudah begitu saja setiap orang bisa menjadi Ustad dengan menyitir beberapa ayat Al-Quran, hapal beberapa hadits.

Dan ternyatabukan umat yang berhak memilih dan mengangkat imamnya, mengangkat kyainya, mengangkat ustadnya, tapi yang memilihkan adalah perusahaan media. Media memfasilitasi pencitraan, memfasilitasi ketenaran, dengan di make up sedikit berbicara ayat dan tidak perduli orang itu paham atau tidak, dia melakukan atau tidak. Yang penting dia seolah-olahnya kelihatan paling alim di layar televisi.

Maka di buatlah acara-acara untuk mencetak ustad-ustad itu. Dan menjadi ustad konyolnya di tentukan dari berapa banyak SMS yang di kirimkan. Untuk urusan moral, etika sosial, kedalaman samudra ilmu itu urusan nomor delapan belas.

Sehingga yang kasihan adalah kita orang Indonesia karena selalu tertipu. Memilih pemimpin tertipu, memilih idola salah, memilih pasangan hidup kadang keliru, memilih bintang dapatnya meteor, mencari emas yang di junjung tembaga, mengidolakan perak tapi menyimpannya kawat. Bangsa yang kehilangan parameter di segala bidang, bahkan sampai hal-hal dasar dalam kehidupan tidak mampu menemukan kesejatian karena selalu ditutupi dengan banyak kepalsuan.

Namun bila hanya soal salah memilih penyanyi idola, itu tidak terlalu menjadi persoalan. Namun kalau salah dalam memilih pemimpin bangsa, salah memilih guru yang di hormati, salah memilih orang alim atau ulama yang kita takdzimi dan bisa kita yakini sepenuh hati moralitas dan derajat keilmuannya, maka menangislah seluruh malaikat, ruh suci para wali, para auliya, para nabi dan rasul untuk langsung berbondong-bondonglah mengadu kepada Tuhan. Karena pasti kesalahan atau kekhilafan kita yang telah memilih kepalsuan akan berbuah banyak kemungkaran-kemungkaran.

Gilang Prayoga

Bobotsari, 16 Februari 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline