Keputusan Partai Demokrat (PD) untuk berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indoneia Perjuangan (PDIP) dalam mengusung Cagub dan Cawagb di sejumlah daerah, mengundang pertanyaan. Pasalnya, kedua partai dengan titel 'demokrasi' ini kerap bersebrangan dalam pandangan politik.
Sejak lakon PD Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan diri dan berhasil menang pada Pilpres 2004, PDIP langsung menobatkan diri sebagai partai oposisi. Selama satu dekade PD dan PDIP menjadi penyeimbang kekuatan dengan berperan sebagai partai pemerintah dan partai opisisi.
Namun semua itu berubah ketika PDIP berhasil menang melalui Joko Widodo di Pilpres 2014. PDIP jelas memposisikan diri sebagai pendukung pemerintah. Sementara PD mencoba untuk bersikap netral.
Mungkin PDIP belum terbiasa menjadi partai penguasa, karena itu dalam perjalannya PDIP kerap diserang oleh lawan-lawan politiknya. Sebagai contoh, saat Pilkada DKI Jakarta. Kita melihat betapa buruknya proses demokrasi yang terjadi saat itu.
Padahal banyak yang memprediksi bahwa pasangan Ahok-Djarot akan kembali menguasai Jakarta. Angka keterpilihan Ahok saat itu juga yang tertinggi. Namun apa daya, PDIP harus rela melepaskan Ibu kota. Partai Demokrat yang juga ikut di Pilkada DKI melalui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pun harus menerima kekalahan.
AHY secara jantan mengakui kekalahan dan memberikan selamat kepada siapapun nanti yang memenangi kontestasi tersebut. Selain tidak memberikan dukungan kepada salah satu pihak, AHY juga memberikan kebebasan bagi pemilihnya untuk mendukung siapapun.
Berkaca dari kekalahan besar tersebut, nampaknya PDIP harus merubah strategi untuk Pilkada di daerah lain. Pemimpin PDIP, Megawati Soekarnoputri harus bisa legowo dengan mengesampingkan konflik pribadinya dengan SBY.
Selain konflik SBY - Megawati saat Pilpres 2004, di posisi bawahan kedua partai juga kerap berseberangan. Contohnya saat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berang kepada Partai Demokrat dan menuduh SBY membajak kadernya, Emil Dardak. Emil diketahui lebih memilih partai berlambang Mercy merah putih dibanding partai berlambang banteng untuk maju sebagai Cawagub Khofifah di Pilgub Jatim.
Bagaimanapun hingga saat ini belum muncul nama-nama Capres alternatif selain Jokowi dan Prabowo. Sementara konteks politik saat ini, cara menguasainya adalah melalui Pilkada, yang akan terselenggara tahun ini.
Daerah Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), dan Jawa Tengah (Jateng), menjadi kunci. Posisi kepala daerah cukup menentukan bagi dukungan saat Pilpres. Selain jumlah penduduk dari ketiga daerah ini adalah yang terbanyak di Indonesia, Pilpres 2014 menjadi bukti bahwa daerah-daerah strategis ini berpengaruh.
Pada Pilkada Jabar 2013, PKS, pendukung setia Prabowo-Hatta, memenangi Pilkada di wilayah ini. Hasilnya pada Pilpres 2014 Prabowo-Hatta menang di Jabar dengan angka yang cukup mutlak. Pasangan ini mengantongi 59,78 persen suara, atau setara 14 juta lebih pemilih. Sementara Jokowi-JK memperoleh 9,5 juta suara atau setara 40,22 persen.