Lihat ke Halaman Asli

Ketika Sarimin Dilarang Main di Jakarta

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puluhan atau bahkan ratusan ekor monyet yang pernah saya temui itu semuanya bernama sama: Sarimin. Bukan hanya namanya yang sama, monyet-monyet itupun selalu melakukan hal yang kurang lebih sama, pergi ke pasar, naik motor, pakai helm, naik kuda lumping.. Begitu-begitu saja, sejak saya pertama kali melihat di awal tahun 90-an hingga tahun 2013. Monoton.

Sarimin, nama yang diberikan kepada monyet-monyet tersebut, tentu anda kenal juga. Ia telah sedemikian melekat dalam sebuah kesenian tradisional yang berjudul Topeng Monyet. Saya sering bertanya-tanya siapa sih yang ngajarin kok semua pawang itu ngasih nama Sarimin ke monyet-monyetnya? Saya sampai sekarang belum nemu jawabannya. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, darimana sih asal sarimin-sarimin ini? Seperti yang diungkapkan oleh Iing (36), pawang topeng monyet ini mengaku telah merogok koceknya hingga Rp 3 juta untuk menjalani usaha tersebut. Uang itu di antaranya untuk melengkapi berbagai asesori yang diperlukan dalam usaha topeng monyetnya. Dia membeli seekor monyet terlatih di Kampung Dukuh, Jakarta Timur, seharga Rp 1,5 juta. "Kalau yang belum terlatih harganya Rp 700.000," ujar Iing (tribunnews, 22/10/2013).

Modal hingga 3 juta rupiah, bukan modal yang kecil. Untuk ukuran tiga juta rupiah, setiap kali melihat pertunjukan topeng monyet, saya selalu merasa bahwa kesenian ini benar-benar tidak variatif. Ia tidak memiliki cerita yang bisa disimak. Ia hanya menyajikan atraksi monyet tunggang langgang kesana kemari, dengan pawang yang berkulit kisut dan legam digerus panas matahari. Boleh dikatakan, saya tidak pernah bisa menikmati pertunjukan ini, dan oleh sebab itu pula, saya tidak pernah sekalipun memberikan barang sepeser pun kepada mereka.

Meski demikian, pawang topeng mengaku beroleh penghasilan dari usahanya tersebut. Menurut Sukarya, pawang topeng monyet, usahanya ini merupakan sumber penghasilan utama untuk membiayai kehidupan sehari-hari keluarganya. Dari pekerjaannya tersebut, dia bisa memperoleh penghasilan minimal Rp 40.000 hingga Rp 80.000 per hari. (tribunnews, 22/10/2013).

Tapi sewaktu Jokowi mencanangkan bahwa tahun 2014 Jakarta bebas topeng monyet, saya toh tetap merasa miris juga. Miris karena membayangkan banyak pawang akan kehilangan penghasilan. Miris juga sebab sebagai sebuah kesenian tradisional, rasanya belum ada upaya apapun untuk memoles pertunjukan ini menjadi lebih modern dan atraktif. Ia seperti dibiarkan begitu saja sehingga hanya berkembang di jalanan, berpanas-panas ria, dengan atraksi yang monoton, sementara masyarakat telah sedemikian maju hiburannya, setidaknya dalam urusan teknologi. Lalu bagaimana dengan para pemburu monyetnya? Bagaimana dengan pedagangnya? Apakah mereka bakal dirazia juga?

Sewaktu Razia topeng monyet mulai gencar, merespon kemauan Gubernur, Kepala Seksi Pusat Kesehatan Hewan dan Ikan Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan (DKP) DKI Jakarta, Aswindrastuti mengatakan bahwa Semua Monyet Hasil Razia di Jakarta, Terkena Stres dan Penyakitan.

Kasihan sekali Sarimin, sudah stress, pendapatan pawangnya tak seberapa pula. Kenyataan ini membuat saya termenung-menung lumayan lama. Bahwa kesenian yang dibungkus dengan seadanya lalu dimanfaatkan untuk mengais sedikit rejeki adalah seperti pengamen bersuara fals dengan gitar karatan. Ia sulit dinikmati, namun ia bersikeras meyakini bahwa orang mau memberikan apresiasi atas apa yang dilakukannya itu.

Saya pikir persoalan Sarimin dan pawangnya adalah perkara yang rumit. Bukan semata soal monyet-monyet yang stress dan tersiksa, bukan pula semata soal pawang yang kehilangan lahan rejeki. Saya pikir kasus Sarimin ini akan jauh lebih menarik ketika kita memikirkannya dari posisinya sebagai kesenian tradisional. Ia bernasib sama seperti banyak kesenian tradisional lainnya, tidak diperhatikan, terpinggirkan. Dan lalu apa artinya kesenian tradisional ketika masyarakatnya pun sudah tidak bisa lagi menikmatinya.

Lalu mengenai sarimin-sarimin yang terlatih, bagaimana dengan pawangnya? Apakah ada pelatihan khusus untuk pawang topeng monyet? Sehingga mereka nanti bisa melatih sarimin-sarimin dengan metode yang lebih paten?

Dihadapkan pada situasi serba tak enak begitu, seharusnya inovasi segera dilakukan. Sarimin-sarimin butuh sentuhan baru, butuh pendekatan baru. Jika saja ada yang bisa menjamin bahwa pertunjukan topeng monyet ini dilakukan dengan konsep matang, penuh dedikasi, dan tidak ada monyet (ataupun pawang) yang terluka didalam prosesnya, tidakkah ia bisa menjadi suguhan atraksi yang benar-benar layak tonton? Bukan untuk turis ataupun wisatawan, melainkan untuk kita sendiri, masyarakat di sekitar sarimin..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline