Lihat ke Halaman Asli

Saya Ikut Tolak Topi Santa

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Anda saya suruh pakai topi santa, bukan karena Natal, tapi karena saya bosnya!”

Itu dia pesannya. Bukan perkara agama sama sekali, sebab tidak ada landasan keimanan apapun dari ajaran Kristen mengenai sosok Santa Claus atau kalau di Indonesia, lebih akrab disebut Sinterklas.

Tidak ada spirit kristen apapun dari sosok santa claus, ia hanya mitos Eropa yang diproduksi di Amerika lalu dijual ke seluruh dunia. Santa Claus adalah simbol kesuksesan globalisasi. Seiring warna kostumnya yang senada dengan Coca Cola.

Santa Claus kemungkinan besar cuma akal-akalan orang Amerika saja, soalnya mereka agak sedih juga hidupnya, semacam tidak punya tradisi unik untuk dirayakan. Lagipula Santa Claus terus saja mengingatkan kepada dominasi kulit putih terhadap ras lain: pembantunya berkulit hitam, dan para kurcaci bertubuh mungil. Ide yang lucu tapi tengil juga, menyakitkan hati, tapi dipertontonkan dengan ceria. Seperti coca-cola yang konon berbahaya–kalau diminum sambil makan permen mentos–tapi enak diminum sama ciu. *local wisdom

Namun sekali lagi, permasalahan pemakaian atribut santa bagi karyawan sebaiknya tidak dilihat dari perspektif keimanan. Agama terlalu suci untuk mengurusi remeh temeh dan banal kayak gitu kan? Lebih enak melihat pemakaian atribut santa bagi karyawan adalah perwujudan dari kolonisasi korporasi. Sehingga kalau ada yang berani nanya: “kenapa saya harus pakai topi santa?” Take it or leave it, itu jawabannya. Berlaku bagi pekerja, maupun bagi para outsiders pemegang saham. Tidak ada intervensi yang dapat dilakukan. Nggak suka kebijakan kami, silakan pergi. Yang karyawan mulai cari lowongan, yang punya saham bisa menjual sahamnya.

Bagaimana manajerial perusahaan bisa mengeluarkan keputusan yang tidak melibatkan aspirasi karyawan, konsumen, dan publik. Itu artinya, mereka tidak demokratis. Sebab selain uang, korporat ternyata juga suka kekuasaan, buktinya ya gitu, suka mengontrol. Celakanya ini praktik kekuasaannya kok ya masih sangat feodal baunya.

Diskusi seharusnya menjadi kata kunci penting bagi korporasi dalam membuat keputusan. Semua pihak yang kiranya akan terkena dampak keputusan, diajak berdiskusi satu meja, harapannya biar keputusannya tidak melulu sepihak dari manajerial, tapi mengakomodasi semua aspirasi. Sehingga upaya untuk menyakiti hati pihak-pihak yang terdampak oleh kebijakan dapat diminimalkan.

Soal Topi Santa pun demikian. Sebaiknya didiskusikan dulu. Lalu ketika diskusi dengan topik yang sangat tidak menarik itu berlangsung, dalam sebuah jurnal pariwisata nun jauh di Skandinavia sana, terlontar sebuah pertanyaan yang sifatnya lebih mengancam: “Will Climate Change Kill Santa Claus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline