Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Penyintas Depresi

Diperbarui: 9 Agustus 2022   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Detik ini, suasana begitu dingin menggelitik. Menembus kulit, hingga tulang pun ikut serta merasakan ngilu akibat cuaca yang tak menentu. Hembusan angin membawa tangan saling berpelukan, menenangkan diri dalam sepinya malam. Menggigil, hingga membawa suara gemeletuk yang nyaring. Tanpa selimut atau sekedar sentuhan yang menghangatkan, aku terduduk dalam kesendirian. Pada ruangan sepetak yang jauh dari kata layak.

Pikiranku berkelana, teringat akan masa-masa yang tak tenang. Masa-masa yang tak ingin kulupakan sepenuhnya, meskipun begitu menyakitkan. Karena masa-masa itu telah menjadi sejarah dalam hidupku. Ya, sebuah kenangan yang mengajarkanku arti bidup yang sesungguhnya serta sebuah perjuangan yang tidak akan pernah berakhir sia-sia.

Desember 2017, semuanya bermula. Kata-kata yang setiap detik terlempar, perlakuan-perlakuan tak berperikemanusiaan, hal-hal yang tak disangka-sangka akan terjadi padaku; seolah melemparku begitu jauh dalam jurang curam. Menyakitiku tanpa henti, apalagi dengan rasa belas kasihan. Menghancurkanku secara perlahan, hingga menjadi kepingan-kepingan yang tak akan pernah bisa  utuh lagi.

Sayangnya, gadis sok kuat sepertiku yang tidak pernah mau terlihat lemah, memilih menyimpannya sendiri. Menutupi luka-luka itu dengan senyum yang senantiasa kuukir ditengah suramnya jiwaku. Memilih tidak bercerita kepada siapa-siapa yang bertanya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Baik," jawabku selalu.

Tidak! Aku sama sekali tidak berniat untuk berbohong, tetapi aku takut kebahagiaan mereka hilang karena cerita-cerita menyedihkan dariku, yang mungkin akan memaksa mereka mengubah sikapnya menjadi lebih baik kepadaku. Lalu, yang terjadi berikutnya hanyalah sebuah kepalsuan.

Berpura-pura itu menyakitkan, seperti luka  yang ditekan untuk tidak terlihat oleh mata. Maka dari itu, aku tidak ingin mereka merasakannya. Aku lebih memilih menyakiti diriku sendiri dengan topeng yang kukenakan, agar mereka bahagia.

Ya. Agar mereka bahagia.

Kucoba turut merasakan apa yang mereka rasakan, sebuah kebahagiaan. Namun, bagaimana bisa diri ini bahagia disaat luka-luka itu tak kunjung pulih, bahkan semakin menjadi seiring berjalannya waktu. Lontaran yang kian mencaci maki serta perlakuan yang lebih terasa seperti memperbudak, tidak pernah sekalipun berhenti.

Semua orang bilang, "Semua akan indah pada waktunya." Tapi, kapan?  Nyatanya yang katanya akan indah pada waktunya itu, bahkan menjadi lebih buruk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline