Lihat ke Halaman Asli

Ghozi Zul Azmi

Members of PKS Muda Institute for Leadership, Politics, and Public Policy

Lemahnya Sistem Budgeting dan Implementasi Program Dalam Optimalisasi Penyerapan APBD Pemerintah Daerah 2021

Diperbarui: 21 Desember 2021   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Ghozi Zul Azmi, S.I.P

Member of PKS Muda Institute for Leadership, Politic, and Public Policy( PLP2)

Tahun 2021 akan segera berakhir, praktis hanya tersisa 1 pekan lagi untuk berganti kalender dan menyiapkan lembaran baru untuk melanjutkan hidup. Sama hal nya dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Keberlanjutan program pemerintah akan berganti mata anggaran, bahkan jauh hari sebelum tahun berganti, penyusunan program dan anggaran sudah dibuat bersama antara lembaga eksekutif dan legislative. Maka untuk di pemerintahan daerah, eksekutif menyusunnya bersama dengan DPRD. Penyusunan merupakan sebuah pembahasan yang telah dibuat oleh pemerintah daerah melalui system Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) di level kelurahan sampai dengan level provinsi, yang hasil akhirnya akan disandingkan dengan muatan usulan lembaga DPRD melalui kegiatan Reses. Setelah semua sudah direkap, maka semua proses tersebut akan bermuara di Badan perencanaan daerah yang kemudian menentukan program Prioritas hingga lahirnya sebuah Peraturan Daerah (Perda) bernama Perda Anggraran Pendapatan dan Belanja (APBD) Provinsi/Kota/Kabupaten 2022.

Sebelum jauh membahas APBD 2022, kita perlu step backward untuk melihat bagaimana realisasi berlangsungnya APBD 2021 yang akan segera tutup buku. Perlu di ketahui, adanya pandemic covid 19 membuat penyerapan pemasukan daerah mengalami penyesuaian. Tentu pemerintah daerah melakukan konsultasi dan mengikuti saran dari Kemendagri dan Kementrian Keuangan RI. Sektor-sektor pendapatan yang menjadi ujung tombak pendapatan, belum berlangsung normal, meskipun sudah menunjukan tren yang cukup bagus. Status PPKM yang di sematkan juga membuat beberapa potensi pendapatan yang diambil dari retribusi maupun perpajakan menjadi longer, dan mendapat dispensasi. Sehingga perlu di akui proyeksi pendapatan daerah menjadi menurun, tidak sesuai perencanaan dan harapan. Data dari laman Kementrian Keuangan yang di update 16 desember 2021 tentang anggaran realisasi APBD, Secara rata-rata kemampuan daerah dalam menyerap pendapatan hanya 69,42 Persen. Dengan kompenen pendapatan paling besar dari sektor perpajakan, yang hanya terserap 71,47 Persen

Ada dua bentuk penyerapan dalam melihat APBD, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Income Daerah dan juga bentung expenditure/Spending daerah untuk membuat program kerja. Penentuan besaran Spending daerah bukan hanya didapatkan dari pengusulan program yang didapat dari kegiatan musrenbang/ pembahasan bersama DPRD. akan tetapi melihat berapa angka income yang akan didapatkan, melihat sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) tahun sebelumnya. Sehingga batas kemampuan daerah dalam mnenyusun anggran tahun berjalan dilihat dari bagaimana performa dari pelaksanaan penyerapan anggaran di tahun sebelumnya. Sehingga di tengah tahun anggaran berjalan, dengan melihat performa anggaran sebelumnya dan melihat kekuatan real penyerapan, APBD tahun berjalan bisa saja berubah, sesuai kondisi diatas dan kesepakatan bersama pemerintahan daerah. Seperti halnya di tahun 2021, Di awal tahun melalui Perda APBD 2021 telah ditetapkan angka 87 trilun yang akhirnya rencana kegiatan harus mengalami penyesuaian karena income tidak visible menyerap pendapatan yang di targetkan. Program-program di bahas kembali di tengah bulan untuk mengalami cutting atau reshaping antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD), sehingga postur anggaran perubahan terbentuk. Dengan perencanaan kedua melalui APBD Perubahan yang dilakukan tentunya harus sesuai prediksi yang lebih real. Dengan demikian diharapkan, proses penerapan anggaran berjalan lancer, program dapat terlaksana, karena melalui pengkajian yang lebih matang, di awal tahun dan tengah tahun. Pada tahun 2021 ini data dari kementrian keuangan terkait data anggaran dan realisasi APBD 2021 pemerintahan daerah, penyerapan anggaran belanja hanya 65,20 Persen. Dengan komposisi belanja tebesar di dapati di Belanja Barang dan jasa. Sedangkan penyerapan terbesar di Belanja Pegawai sebesar 77, 43 Persen. Dalam data yang disajikan oleh kementrian keuangan, tidak ada penyerapan pendapatan maupun spending/expenditure yang melampaui 80 persen secara keseluruhan. Hal ini menjadi sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya kebutuhan real yang dimiliki masyarakat melalui aspirasi di Musrenbang maupun Reses yang perlu di wujudkan. Pertanyaannya kemudian apa yang membuat penyerapan ini menjadi rendah, lambat dan tidak maksimal, setidaknya dalam tulisan ini saya menyampaikan beberpa pandangan.

Pertama, Sistem budgeting/penganggaran yang hanya Template planning, Mengapa demikian, dalam penyusunan program yang hanya bedasarkan Template yang sudah tersedia, baik dari program tahun sebelumnya ataupun kuncian nomenklatur, setiap organisasi perangkat daerah mengusulkan apapun yang mereka mau rencanakan bedasrkan template yang sudah tersedia. Perencanaan terjadi secara Top Down, walalupun mekanismenya secara bottom up. Karena template program tersebut bukan berasal dari society needs/ kebutuhan masyarakat. Proses seperti ini yang sudah terjadi tahunan dan berulang-ulang berdampak pada saat penyerapaan. Program yang bukan bedasarkan kebutuhan masyarakat akan lebih lambat terserap di banding yang bedasarkan kebutuhan real masyarakat. Hal ini bisa dilihat dalam proses menjaring usulan baik di musrenbang maupun dalam kegiatan reses. Yang basis program hanyalah nomenklatur yang telah disediakan. Jika di perumpakan sebagai sebuah kuisioner ini hanyalah sebuah close interview, bukan open interview. Sebuah pertanyaan akan kebutuhan yang sudah dibatasi. Sehingga dalam penyerapannya juga akan lebih sulit, atau bahkan tidak berdampak langsung pada kebutuhan yang masyarakat butuhkan. SKPD mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan setiap program yang sudah di rancang, karena bukan menjadi keinginan real dari masyarakat. Kalupun tetap terjadi ketidakmaksimalan penyerapan terjadi karena tidak adanya outcome yang sesuai harapan dari organisasi perangkat daerah dan masyarakat.

Kedua, tidak adanya Performance Based Budgeting dalam system penganggaran. Setiap perencanaan yang terimplementasikan polanya akan selalu berulang. Setiap OPD merencakan, di bahas, kemudian dilaksanakan. Jika tidak terlaksana akan menjdai SILPA, meskipun SILPA ini menjadi parameter penyesuaian angggaran di tengah tahun. System penganggaran yang selalu berulang tanpa melihat performance dalam menyerapan maupun implementasi program akan membuat lingkaran setan yang akan selalu berulang dari tahun ke tahun tanpa adanya sebuah perbaika. Tentu saja hal ini bedampak pada birokrat yang tidak professional dalam implementasi kebijakan anggaran yang telah disusun, karena para birokrat tidak mempunyai sebuah dorongan khusus untuk menyelesaikan program ini secara maksimal. Lain halnya jika kita menggunakan indicator performance dalam penyerapan anggaran untuk menjadi kuota besaran anggaran OPD. Dapat di bayangkan jika setiap OPD yang tidak mampu menyerap anggaran secara maksaimal akan mendapat potongan anggaran di tahun selanjutnya. Bukan hanya pemecatan/mutasi. Tapi percentage/besaran kuota anggaranya juga berkurang. Hal ini berpotensi memacu profesionalitas kinerja setiap SKPD. Performance based budgeting bukan berada sebagai sebuah teguran, tetapi ia menjadi sebuah system dalam perancangan anggaran

Ketiga, di perlukannya Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap pelaksaan program. lazimnya kinerja birokrat hanyalah melaporkan rencana kerja tahuanan, bulanan, pekanan, dan harian kepada atasan ataupun organisasi di atasnya. Tetapi bentuk informasi ataupun kordinasi pada level organisasi di bawahnya sangat minim. Dalam setiap perencanaan dan program kerja yang dirancang di tiap organisasi perangkat daerah, ujung tombaknya ialah pemerintahan wilayah, baik level kecamatan, kelurahan, RT dan RW. Dalam realitanya, pemeritahan daerah di level atas seperti autis/ mempunyai dunia sendiri dalam menjalankan pemerintahan. Tidak adanya/kurang terkordinasi dengana level organisasi kewilayahannya. Apa yang sudah menjadi hasil musrenbang dan menjadi APBD itu harus dilampirkan ke stiap organisasi kewilayahan lebel lurah, bahkan RT dan RW. Dengan demikian, fungsi kordinasi dan akan terjalin. Maka secara teknis dapat diusulkan setiap program yang sudah direncakana, program mana yang tidak berjalan beserta alasaannya. Sehingga jika ada keinginan masyarakat yang belum terasa di akomodir, akan terlihat, apakah program ini memang belum terakomodir, atau sudah terkaomodir, namun tertolak, atau terdapat masalah di lapangan. Pemerintah wilayah yang menguasi medan/wilayah implementasi program akan saling support dan memantau proses pelaksanaan program tersebut.

3 pandangan diatas menjadi sebuah analisis dan rekomendasi agar proses penyerapan anggaran dapat terjadi secara optimal. Karena target dari penyerapan anggaran itu bukan hanya sekedar memaksimalkan anggaran setinggi-tinginya tanpa melahirkan outcome yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga kata mengoptimalkan lebih tepat untuk memastikan perencaan yang baik, sistem budgeting yang tepat, kordinasi antar lembaga yang terjalin, dan transparansi serta akuntabilitas yang terbangun akan membuat lahir sistem budgeting yang real dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi mudah terserap dan teroptimalkan oleh perangkat daerah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline