Tentang Sebuah Kematian
Aku seringkali memikirkan, kadang juga terbayangkan seperti merasakan sebuah kematian; kematian yang mencekam; didera oleh angan dan harapan, warna dari sebuah kehidupan yang 'kan pergi lalu menyisakan kesepian; juga kerinduan, bahkan mungkin kegelapan. Terang yang terasingkan akan 'lah tersingkapkan.
Sedari lahir kematian telah menjelang. Ia menjelma menjadi bayang-bayang, terus menapak bersama langkah yang tak dirasakan, hinggap dalam hidup yang ditawan dunia gemerlapan. Tapi, semakin kini semakin menjadi; keusangan tak tertandingi, kegersangan jiwa menodai.
Bunda telah rela berkorban, menahan rasa sakit yang menghantam. Resiko mati tidak dihiraukan demi sebuah kelahiran; awal yang begitu mendebarkan.
Bunda telah lama meninggal, dan aku masih saja tertinggal. Nafas pun tersengal-sengal, tak sanggup mengejar walau sepenggal. Hanya doa 'lah terpanjatkan.
Bundaku sungguh penyayang. Kematian di depan, tapi masih juga memperhatikan keadaan anaknya yang nakal; aku 'lah nian. Bundaku menyiapkan makan ketika sahur di bulan Ramadhan di tengah sakit yang ditahan, untukku seorang. Sakit itulah yang mengantarkan dia ke liang pembaringan. Dan aku masih saja merindukan. Aku menangis kesepian. Rumah seperti kuburan, ditinggalkan.
Semenjak itu rumah bukanlah kediaman. Rumah ini hanyalah simbol kesepian. Seperti mati yang hanya sendiri, tak 'kan ada yang menjadi teman.
Teman?
mereka juga silih berganti datang, menawarkan senyuman, memberikan secercah kebahagiaan. Tapi mereka juga pasti hilang, pelan sekali menghanyutkan. Mereka punya kehidupan, dunia yang terus diterjang. Dan mati tetap saja membayang, teruntukku kesunyian.
Masih adakah yang 'ku kejar, jika bapak tidak mengharapkan. Dialah orangnya yang melatihku berjalan mengarungi kehidupan, memperoleh kebahagiaan. Tapi aku juga tak 'kan tahan bila aku ditinggalkan. Bisa saja aku duluan. Kehampaan akan semakin menyedihkan.