Lihat ke Halaman Asli

Solo Rinduku Padamu

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Solo sing dadi kenangan, kowe karo akuu....” Secuil lagu karya maestro musisi jalanan, Didi Kempot, yang membuat hati ini semakin terpaut dengan kehangatan Kota Solo. Solo, ketika mendengar namanya pasti yang terpikirkan oleh banyak orang adalah keramahan masyarakatnya terutama bahasanya. Itulah yang saya rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya. Kebetulan sekarang saya sedang kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Banyak dari teman saya yang menilai bahwa saya ini orang paling halus bahasanya ketika bicara. Maklum asal saya juga tidak jauh dari Kota Solo yaitu Kabupaten Karanganyar. Meskipun tidak berasal dari Kota Solo namun hati ini selalu merasa damai ketika menginjakan kaki di Kota Bengawan, julukan Kota Solo. Berat rasanya ketika harus meninggalkan Kota Solo menuju tanah rantauan di Kota Surabaya yang notabene merupakan kota yang terkenal dengan boneknya. Namun apa boleh buat, saya harus meyakini bahwa semua ini merupakan jalan yang telah ditakdirkan Allah SWT dan menjalaninya dengan sepenuh hati.

Teringat kepingan memori ketika dulu sering menjelajah seisi Kota Solo. Begitu banyak tempat yang bisa dijadikan pilihan untuk sedekar melepas penat dari aktivitas sehari-hari. Bagaimana seperti merasakan kembali ke zaman kerajaan ketika mengunjungi Keraton Solo dengan koleksi benda sejarahnya yang begitu artistik. Memang telah menjadi magnet tersendiri bagi Kota Solo dengan keberadaan Keraton Solo ini. Hal ini menandakan bahwa memang begitu krusialnya keberadaan Kota Solo ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu dengan adanya keraton ini menunjukkan masih kentalnya keaneragaman budaya di Kota Solo. Kemudian merasakan indahnya surga batik yang berwara-warni ketika mengunjungi Pasar Klewer. Pasar dengan penjualan batik terbesar di Indonesia. Begitu banyak penjual menjajakan batiknya bertenteng-tenteng dengan beraneka corak motif mulai dari motif parang kusuma sampai dengan motif sekar jagad. Harganya pun sungguh menggiurkan membuat pembeli semakin rindu pada tempat ini.

Beranjak menuju tumpukan buku yang sudah sedikit kusut tapi masih terlihat bagus terjejer rapi di pinggir jalan. Busri namanya, pusat penjualan buku bekas terbesar di Kota Solo. Beraneka buku terpampang dengan harga cukup miring yang membuat tangan ini selalu berkeinginan memborong semua buku yang ada. Terdapat buku sekolah, buku sejarah, komik, novel dan buku-buku yang lainnya. Komplit semuanya ada disana. Lalu terbang menuju sebuah jalan dimana terdapat jalur kereta api yang langsung terhubung dengan pusat kota dan di klaim sebagai satu-satunya kota di dunia yang masih mempertahankan jalur kereta api di jalan protokolnya. Sungguh menakjubkan. Melihat kereta uap melintas berkepulan menambah indahnya kota ini. Jalan Slamet Riyadi, pusat aktivitas Kota Solo. Pusat bertemunya berbagai budaya dan keaneragaman masyarakat. Pusat dari segala pusat. Mulai dari kegiatan perdagangan sampai kegiatan formal pun sering dilakukan di jalan tersebut. Contoh nyatanya yaitu Solo Batik Carnival yang memamerkan karya batik berbagai desainer lokal dengan model yang unik. Bahkan ada desain baju batik yang tingginya mencapai 2 meter. Warisan budaya Indonesia yang tetap terlestarikan.

Selain itu, Car Free Day yang diadakan setiap minggu pagi juga banyak menarik minat masyarakat untuk sekedar melakukan berolahraga atau kegiatan lainnya. Ingin rasanya setiap hari melewati jalan tersebut apalagi ketika melihat keindahan sinaran lampu pada malam hari membuat jiwa ini ikut bersinar. Dihiasi oleh jejeran pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai makanan khas mulai dari gorengan, soto, serabi sampai tengkleng makanan kesukaan saya. Sembari ditemani dengan iringan klenengan yang sungguh syahdu semakin menambah kehangatan malam di Kota Solo. Ngarsopuro tempat yang selalu memberikan kehangatan di setiap malamnya. Kehangatan yang selalu saya rindukan.

Solo, satu kata yang selalu terngiang dipikiranku ketika membandingkan dengan Kota Surabaya. Ternyata memang benar, masyarakat Solo masih menjunjung nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai yang tidak saya temukan di kota lain terutama di Surabaya. Di Surabaya yang namanya disiplin lalu lintas itu masih sangat kurang. Mendapati hal tersebut, lagi-lagi teringat dengan Kota Solo. Merindukan disiplinnya masyarakat Solo dalam berlalu lintas. Ketika mendengar tutur perkataan masyarakat Surabaya yang boleh saya bilang sedikit “kasar” merindukan tutur perkataan masyarakat Solo yang halus. Ketika melihat mal-mal berjejeran memenuhi tanah Surabaya merindukan bangunan seperti museum Radya Pustaka.Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kota memiliki budaya masing-masing. Namun saya menganggap bahwa budaya dan tutur kata dari Kota Solo yang paling cocok ditiru jika melihat perkembangan perilaku masyarakat saat ini. Budaya dan tutur kata yang mencerminkan baik atau buruknya perilaku masyarakat didalamnya. Solo, kerinduan kepadamu selalu memuncak. Semoga engkau tetap seperti dulu. Menjadi kota yang selalu memberikan kehangatan dan keramahan. Kota yang selalu di elu-elukan keberadaannya. Kota yang menjadi kiblat peradaban modern yang berbudaya. Amin.

Aku Cinta Solo!!!

Aku Cinta Indonesia!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline