Lihat ke Halaman Asli

Pemikiran Filosofis Ki Hajar Dewantara

Diperbarui: 29 Mei 2023   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Siapa yang tidak kenal dengan Ki Hajar Dewantara? Beliau merupakan Bapak Pendidikan Indonesia. Beliau sangat konsen dalam dunia pendidikan, bahkan ketika kita membaca tulisan-tulisan beliau akan terasa ruh semangat dalam mewujudkan pendidikan yang relevan untuk diterapkan di Indonesia

Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sehingga dari pemahaman tersebut beliau mengibaratkan seorang pendidik (guru) dapat diibaratkan seperti petani dan siswa diibaratkan benih padi. Petani dengan keahliannya hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki tanahnya, memelihara tanamannya, memberi rabuk dan air, memusnahkan ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanamannya. Tetapi meskipun petani dengan keahliannya dapat merawat dan memperbaiki pertumbuhan padi itu, namun jika diminta untuk mengganti kodrat-iradat padi tentu petani tidak mampu. Selihai apapun petani, ia tidak dapat menjadikan padi berbuah jagung ataupun kedelai, karena padi tetaplah padi. Petani harus takluk dengan kodratnya padi, memang benar dengan besutan seorang petani handal maka padi akan mampu tumbuh dengan subur daripada padi yang tidak dirawat. Begitupun guru, sepintar apapun seorang guru tentu dia tidak akan mampu merubah kodrat anak, guru harus mampu memaklumi dan memfasilitasi setiap keberagaman yang ada pada diri anak. Guru harus berani mencoba dan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di kelas, sehingga kebutuhan belajar murid akan terakomodir dengan baik. Dan tentu, dengan begitu peserta didik akan tumbuh sesuai dengan kodrat yang dimilikinya.

Guru harus mampu memahami bahwa anak bisa diibaratkan seperti kertas yang penuh dengan tulisan akan tetapi semua tulisan itu suram (teori convergentie). Maka guru seharusnya mampu menebalkan tulisan yang suram (lamat-lamat) itu yang berisi baik, agar tumbuh budi pekerti yang baik pada diri anak. Segala tulisan yang buruk pada kertas tersebut hendaknya dibiarkan agar tidak menjadi tebal dan bahkan agar semakin suram.

Sejatinya watak manusia itu terbagi menjadi dua yang pertama yaitu bagian intelligibel yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual yang dapat berubah karena pendidikan atau keadaan dan yang kedua yaitu bagian biologis, yang berhubungan dengan dasar hidup manusia dan tidak dapat berubah. Contoh dari bagian intelligibel yang dapat berubah adalah kelemahan fikiran, kebodohan, kurang cepatnya berfikir dan lain sebagainya. Sedangkan contoh dari bagian biologis yang tidak dapat berubah adalah rasa takut, malu, kecewa, iri, egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani dan sebagainya. Rasa itu tetap bersemayan dalam diri manusia sejak kecil sampai dewasa. Seringkali seorang anak penakut ketika sudah mendapat pendidikan yang baik mereka menjadi pemberani, hal tersebut bukan menandakan bahwa rasa takut anak tersebut hilang akan tetapi hal tersebut menandakan bahwa setelah mendapat pendidikan yang baik ia mampu menimbang-nimbang dan kemudian memperkuat pikirannya untuk tidak takut. Pada titik ini mampu ditarik suatu benang merah bahwa pendidikan mampu menumbuhkan penguasaan diri yang baik. Dengan penguasaan diri yang baik maka dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut telah memiliki budi pekerti yang baik, dan itu merupakan tujuan dari pendidikan dan maksud dari keadaban.

Menurut Ki Hajar Dewantara Dalam penyelenggaraan pendidikan harus berdasarkan pada asas Trikon yaitu asas kontinuitas, konvergensi, dan konsentris, dalam arti proses pendidikan perlu berkelanjutan, terpadu, dan berakar di bumi tempat dilangsungkannya proses pendidikan.

Kontinyu artinya pendidikan harus dibangun diatas budaya bangsa. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang ada dalam budaya bangsa dengan materi kurikulum yang diajarkan di sekolah. Sehingga aktifitas pembelajaran dan pendidikan di sekolah tidak lepas dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Misalnya nilai gotong royong dengan melaksanakan kegiatan bersih-bersih lingkungan sekolah secara bersama-sama dalam kegiatan Jumat bersih di sekolah, nilai musyawarah yang tercermin dalam pemilihan ketua kelas maupun ketua OSIS di sekolah, nilai-nilai nasionalisme dengan mengadakan upacara bendera setiap hari senin dan nilai-nilai lain yang dapat dimasukan dalam kegiatan intra kurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikuler di sekolah.

Konvergensi, artinya pendidikan harus mampu memadukan budaya bangsa dengan kebudayaan asing yang dapat mendorong kemajuan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran misalkan smartphone, laptop, internet, website, video pembelajaran maupun game yang dengannya mampu mendorong siswa dalam mengembangkan diri. Karena sesuai kodrat jaman, kemajuan teknologi yang begitu pesat dan era digital saat ini sangat diperlukan adanya perpaduan antara budaya asing dan budaya lokal guna menghasilkan kemajuan dalam hal budaya.

Konsentris, artinya pendidikan harus mampu mengantarkan siswa untuk mampu aktif dalam kebudayaan dunia dengan tetap meninggikan kepribadian bangsa. Hal ini dapat diwujudkan dengan memberi dukungan kepada siswa untuk terus mengasah potensi diri agar mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, memiliki kepercayaan diri dalam menunjukkan jati diri bangsa, serta menjawab tantangan jaman dengan rajin belajar dan mencetak prestasi sehingga tercermin sebagai pribadi yang berkualitas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline