Lihat ke Halaman Asli

ghina ummul mutiah

mahasiswa jurnalistik UIN syarif hidayatullah jakarta

Analisis Pemberitaan Kaum Ahmadiyah dalam Perspektif HAM

Diperbarui: 5 Desember 2023   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kaum ahmadiyah merupakan aliran komunis yang sudah ditetapkan oleh MUI pusat. Hal tersebut disebabkan oleh salah satu pernyataan mereka yang menganggap mirza ghulam ahmad sebagai nabi. Pernyataan itu dianggap sesat dan menyimpang karena dalam ajaran islam nabi muhammad SAW adalah nabi penutup dan tidak ada rasul lagi setelahnya. Gerakan ahmadiyah yang awalnya memiliki pengikut yang banyak saat ini menjadi minoritas. Meskipun hanya sedikit orang yang menganut ajaran ini tapi bukan berarti mereka tidak berhak mendapatkan hak-hak sebagi warga negara.

Tertera jelas dalam undang-undang bahwa setiap warga negara memili hak dan kewajibannya. Diantaranya adalah hak dalam melakukan peribadatan sesuai kepercayaannya masing-masing. Sangat disayangkan dalam beberapa pemberitaan masih terekspos bagaimana kaum ahmadiyah yang merupakan minoritas mendapat perlakuan yang tidak setimpal dengan hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Beberapa waktu lalu, viral pernyataan seorang kepala daerah yang menolak akui kaum ahmadiyah sebagai warganya. Dalam pernyataan itu disebutkan bahwa kaum ahmadiyah tidak bisa membuat ktp di wilayahnya sendiri karena kepala daerah yang tidak menyetujui. Hal tersebut menyebabkan kaum ahmadiyah di mataram tidak tercatat dalam sipil. Meskipun hal itu untuk mencegah adanya perselisihan, namun tidak sepatutnya untuk mengambil hak orang lain dalam bermasyarakat. Pemerintah harusnya dapat mencari jalan keluar terbaik yang bersifat netral, tidak berpihak, dan tidak merugikan pihak manapun.

Selanjutnya viral kasus perusakan masjid ahmadiyah oleh massa yang mengaku sebagai aktivis agama. Sebagai seseorang yang beragama seharusnya faham bahwa perbedaan yang ada tidak bisa menjadi penghalang untuk tetap bertoleransi apapun kepercayaannya. Tidak ada yang bisa menentukan suatu kepercayaan tersebut benar atau salah. walaupun pihak MUI sendiri sudah menjatuhkan putusan bahwa ahmadiyah aliran yang tidak sesuai, tetapi merusak tempat ibadah mereka adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Landasan negara telah mengatur dalam sila kedua pancasila yaitu "kemanusiaan yang adil dan beradab". Setiap warga negara harus menerapkan prinspip berkemanusiaan yang adil tidak memihak dan mengucilkan kaum minoritas. Dalam al-qur'an surat al-kafirun ayat 6 dijelaskan bahwa "untukmu agamamu, untukku agamaku". Tidakkah penggalan ayat tersebut menjadi panutan untuk tetap menghargai toleransi?.

Pihak majelis ulama indonesia menyesalkan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan massa dan berharap adanya proses hukum lebih lanjut terkait tindakan indisepliner tersebut. Sebagai warga negara yang berlandaskan pancasila dan umat islam yang berpanut pada al-qur'an dan as-sunnah, sudah seharusnya untuk dapat menghargai pendapat dan keyakinan masyarakat ataupun umat beragama lainnya. Jika ada hal yang dianggap tidak sesuai atau menyimpang ajaran agama, lebih baik untuk menyebarkan hal yang baik daripada melakukan tindakan hakim sendiri. Saling merangkul dan mengajak kepada hal yang baik akan menciptakan keharmonisan masyarakat dibanding menciptakan keributan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline